Perbedaan Muhammadiyah dengan Salafi dan Cara Menyikapinya

Perbedaan Muhammadiyah dengan Salafi dan Cara Menyikapinya (Iustrasi Azka Izzuddin Mohammad/PWMU.CO)

PWMU.CO – Perbedaan Muhammadiyah dengan Salafi manjadi salah satu bahasan dalam sesi tanya jawab Kajian Tiga Bulanan yang digelar Departemen Dakwah Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur melalui Zoom, Ahad (30/7/2023) pagi.

Kajian itu ternyata juga dihadiri kader Nasyiah di luar Jatim. Ketua PWNA Riau Hardhina Rosmasita ikut hadir. Dia mengatakan, “Saya sangat bangga dengan kegiatan-kegiatan Nasyiah Jawa Timur. Semoga istikamah dan kami di PWNA Riau bisa mengikuti jejak Jatim.”

Dalam sesi tanya-jawab, Dhina–sapaan akrabnya–menanyakan perbedaan Muhammadiyah dan salafi serta cara menyikapinya.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Bidang Tarjih dan Tajdid, Kepesantrenan, Haji-Umrah Dr Syamsudin MAg yang menjadi narasumber kajian itu menjelaskan, “Salafi bagian dari ideologi Islam transnasional. Paham keagamaan tersebut sifatnya mendunia. Tidak hanya di Indonesia tapi juga seluruh dunia, termasuk paham ekstrem ISIS juga berangkat dari paham keagamaan tersebut.”

Kenapa Muhammadiyah harus berbeda dengan salafi? “Karena manhaj-nya berbeda. Salah doktrin salafi adalah takfiri. Yaitu semua kelompok yang tidak sama dengannya dianggap kafir. Memang ada irisan-irisan (antara Muhammadiyah dan salafi), yaitu dalam tataran pemurnian ajaran agama atau purifikasi. Bedanya di Muhammadiyah ada semangat dinamisasi atau pembaruan pemahaman ajaran agama,” ungkap Ustadz Syam, sapaannya.

Maka dari itu, lanjutnya, salafi lebih senang merapat di masjid Muhammadiyah. “Di Jatim, masjid Muhammadiyah kita benteng idengan baik, agar mereka tidak ada keinginan untuk mengail di air keruh, yaitu menggaet warga Muhammadiyah yang tidak paham masuk ke dalam kelompok mereka. Kita paham masjid rumah Allah, siapapun yang shalat tidak boleh dihalangi. Masjid Muhammadiyah terbuka untuk siapapun orang Islam tanpa terkecuali,” lanjutnya.

“Tapi pengurus masjid Muhammadiyah (merujuk) SK-nya ranting, tidak boleh sembarangan orang. Harus seizin ranting. Muhammadiyah adalah organisasi yang punya aturan. Ada struktur pengurus. Kalau shalat bebas, boleh siapapun. Tapi kalau untuk mengadakan pengajian, naik mimbar, tidak boleh!” tegasnya.

Baca sambungan di halaman 2: Di Tataran Nilai, Bukan Praktis

Wakil Ketua PWM Jatim yang membidangi Tarjih dan Tajdid Dr Syamsudin MAg mengisi kajian rutin Nasyiah Jatim via Zoom, Ahad (30/7/2023). (Erfin Walida/PWMU.CO)

Di Tataran Nilai, Bukan Praktis

Ketua Departemen Dakwah PWNA Jatim Erfin Walida Rahmania SPdI pun menceritakan ada pihak yang mengomentari seragam Nasyiah. “Kenapa tidak dikerucutkan saja Nasyiah kerudungnya panjang, berkaos kaki,” ujarnya menirukan ucapan orang yang tak disebutkan identitasnya itu.

Menanggapi hal ini, Ustadz Syam teringat pada salah satu tenaga pendidik di perguruan tinggi Muhammadiyah, ada yang bercadar. “Saya jelaskan di Muhammadiyah tidak ada tradisi pakai cadar. Kalau di luar kampus bolehlah pakai cadar tidak apa,” ujarnya.

“Kalau di sini, jika Anda pakai cadar, Anda (berarti) keluar dari lingkaran budaya lokal. Sebab di sekitar Anda tidak ada yang memakai cadar. Kita bisa berpakaian yang sifatnya islami dan syar’i kendatipun tanpa cadar. Bahkan dengan begitu kita menjaga hubungan baik antara agama dengan dinamika sosial,” imbuhnya.

Ustadz Syam juga menerangkan, di Muhammadiyah tidak hanya bicara pada tataran nilai, tapi juga pada tataran praktis. Misal cara berpakaian. Doktrin ya harus menutup aurat. Namun dalam implementasinya tetap mengindahkan kearifan lokal.

“Muhammadiyah tidak mengambil jalan seperti yang dikembangkan Islam transnasional. Kalau di NA atau Aisyiyah ada yang seperti itu, perlu kita dekati secara persuasif tanpa mementahkan semangat mereka untuk menjalankan ajaran agama,” pesannya.

MKCHM

Sebelumnya, pagi itu Nasyiah se-Jatim belajar Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) bersama Ustadz Syam. “MKCHM ialah rumusan landasan ideologis Muhammadiyah yang menggambarkan tentang hakikat Muhammadiyah, paham agama Muhammadiyah dan misi Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” terangnya.

“MKCHM ditetapkan dalam sidang tanwir Muhammadiyah tahun 1969 di Ponorogo kemudian direvisi lagi pada sidang tanwir Yogyakarta pada 1970,” terangnya pada

Ustadz Syam memaparkan pokok-pokok MKCHM. Pertama, berkaitan dengan ideologi. “Muhammadiyah adalah gerakan Islam yakni gerakan yang meyakini bahwa Islam lah satu-satunya jalan keselamatan dunia akhirat. Ini sesuai surat Ali Imran ayat 19,” ungkapnya.

Selain itu, Muhammadiyah meyakini Islamlah agama terakhir yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Ini sesuai al-Maidah ayat 3. “Dan Islamlah sumber dan pedoman utama gerakan Muhammadiyah,” imbuhnya.

Berkaitan paham agama, Ustadz Syam menerangkan, Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mendasarkan dakwahnya dengan berpedoman pada al-Quran dan as-Sunah dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.

Kemudian berkenaan dengan peran dan fungsinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Muhammadiyah adalah gerakan yang mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang berasakan Pancasila untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. (*)

Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version