PWMU.CO – Muhammadiyah tak boleh membedakan anggota atau tidak saat membantu. Harus menerapkan prinsip non diskriminasi atau kesetaraan tanpa membeda-membedakan. Sehingga kalau memberikan bantuan kepada orang miskin tanpa dilihat ini Muhammadiyah atau bukan.
Hal itu ditegaskan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Muhadjir Effendy MAP, saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS) di SM Tower Yogyakarta, Jumat (11/8/2023).
Muhadjir mengatakan, apa yang dilakukan MPKS semua harus atas nama kemanusiaan universal, rahmatan lil alamin, sebagaimana tema Muktamar Ke-48 Muhammadiyah di Surakarta yakni Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta.
“Saya berharap MPKS bekerja keras memberikan yang terbaik atas nama filantropi, atas nama kemanusiaan, terutama lillahi taala, li i’lai kalimatillah, untuk mendapatkan ridha Allah SWT,” katanya.
Menurut Muhadjir, jihad yang sesungguhnya haruslah dimaknai dengan menyantuni fakir miskin, kaum terlantar, bukan lagi berperang dengan menggunakan senjata.
“Memaknai kata jihad yang sesungguhnya sekarang adalah menyantuni fakir miskin, yatim piatu, kaum terlantar. Itu harus menjadi jihad versi MPKS dan kita yakini jihad dengan cara itu,” tandasnya.
Rekonstruksi Tafsir Al-Maun
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Republik Indonesia juga mengingatkan agar tafsir al-Maun maknanya harus direkonstruksi jangan hanya dimaknai secara letterlek.
“Dilihat lebih dalam apa di balik makna yang tertulis. Misalnya kata yatim dalam makna letterlek adalah anak yang ditinggal mati orang tuanya. Tetapi ada anak yang ditinggal mati orang tua belum tentu yatim. Kalau dia terurus dengan baik oleh keluarga yang belum mati, lalu kalau dia kaya, mendapatkan warisan 3 triliun masak dia yatim?” tanya Muhadjir.
Sebaliknya, ada anak yang bapak ibunya masih ada, tapi bapak ibunya tidak berdaya mengurus anak itu maka itu justru bisa dikatakan yatim.
“Waktu Kiai Dahlan memerintahkan santrinya itu kan tidak ditanya kamu yatim atau tidak. Tapi santrinya disuruh cari anak terlantar. Jadi sebenarnya yatim itu adalah anak terlantar, salah satunya karena penyebab ditinggal orang tuanya,” ucap Rektor UMM tiga periode ini.
Waspadai Lost Generation
Menurut Muhadjir, hal ini harus ditangani karena masa depan sebuah umat atau bangsa ditentukan bagaimana kualitas generasi penggantinya.
“Kalau generasi penggantinya mengalami lost generation (generasi hilang) ya tidak mungkin bangsa ini akan maju. Generasi hilang itu bukan berarti mati tapi tidak mengalami kemajuan, stagnan, apalagi mundur,” paparnya.
Dia menuturkan, makna miskin juga bukan berarti hanya miskin harta. Tetapi yang termasuk miskin juga itu termasuk kaum difabel dan itu urgen untuk dibantu.
“Karena kaum difabel itu makhluk Allah yang seringkali tidak mendapatkan hak-hak sipil secara paripurna. Apalagi yang sampai cerebral palsy. Itu harus kita bawa ke tempat maksimal. Jangan dianggap bukan bagian dari surat al-Maun,” tandasnya.
Muhadjir bersyukur, ekonomi Indonesia saat ini berada di angka 5.17 persen. Menurutnya kenaikan cukup bagus. Sementara kemiskinan ektrem per Maret 2023 turun menjadi 1.12 persen.
“Mungkin September nanti sudah di bawah satu koma. Saya optimis akhir pemerintahan ini kemiskinan ekstrem di 0 persen. Mungkin tidak nol sempurna tapi setidaknya nol koma sedikit, karena ada daerah yang memang benar-benar masih merah,” terangnya. (*)
Penulis Nely Izzatul