PWMU.CO – Bicara seni di Muhammadiyah perlu hati-hati. Misalnya tadi ada peserta menyanyi di panggung bersama band. Gak bahaya tah?
Begitu seloroh Prof Dr Ir M. Sasmito Djati MS, Wakil Ketua Bidang Kebudayaan, Olahraga, dan Kerja Sama WM Jatim saat mengisi Capacity Building: Revitalisasi Ideopolitor di Trawas Mojokerto, Sabtu (12/6/2023) malam.
”Masalahnya kita masih menganggap seni dan budaya itu penuh tanda tanya. Padahal Muhammadiyah itu sendiri merupakan gerakan budaya,” kata Sasmito Djati.
Ketika bicara seni budaya, sambung dia, tidak bisa mengklaim kebaikan hanya milik kita. Sebab di dalam budaya, di situ ada baik-buruk dengan variabel yang banyak.
Sasmito memberikan padangan fundamental terkait seni, budaya, dan olahraga kepada 250 peserta dari perwakilan PDM seluruh Jawa Timur.
”Saya berpengalaman hidup di beberapa negara sekuler dengan budayanya beda. Orang Barat itu banyak omongnya, tapi kalau orang Jepang banyak kerjanya. Ironisnya, terkadang kita berlari mengikuti budaya yang bukan budaya kita,” ujar guru besar Universitas Brawijaya Malang ini.
Misal, kita bicara syariah. ”Syariah itu budaya lho, kita bicara akhlak itu juga budaya. Bicara akhlak juga sangat normatif karena setiap tempat berbeda dengan unsur subjektif tertentu sesuai keadaan,” tuturnya.
Intinya budaya itu pasti baik dan buruk, tapi agama bukan hanya baik dan buruk. Islam bicara akidah yang tidak bisa ditawar.
Akidah itu soal keyakinan. Misal, dalam hal sederhana kalau kita ingin menyeberang jalan, apakah butuh metodologi dengan mengukur lebar jalannya, jaraknya dan kecepatannya apakah seperti itu?
”Kan gak juga, kita langsung menyeberang saja karena melakukannya berdasarkan keyakinan. Yakin akan bisa dan sudah terlatih,” tandasnya.
Akidah itu sesuatu yang harus kita yakini kebenarannya, tidak perlu ditawar. Pertanyaannya, apakah dalam diri setiap manusia ada keyakinan seperti itu?
”Jawabnya pasti ya. Termasuk bagi orang atheis pun, pada dasarnya bertuhan, tapi dengan definisi berbeda,” katanya.
Islam, menurut dia, dalam pengertian akidah bukan dogma, tapi hidayah. Islam sangat inklusif, terbuka karena ajarannya untuk semua manusia.
“Tetapi kondisinya ada yang dapat hidayah, ada yang tidak dapat hidayah sehingga tidak menemukan Allah di ujungnya. Kita orang yang beruntung menjadi orang yang mendapat hidayah,” tandasnya.
Dia menjelaskan, pada prinsipnya kalau kita yakin bahwa Islam itu inklusif dan dunia cepat bergerak maka kita butuh kolaborasi atau kerja sama.
“Kita juga harus terbiasa berpikir keluar, Muhammadiyah itu semakin besar semakin mendunia dan butuh kolaborasi dengan semua pihak salah satu caranya dengan pendekatan budaya,” tegasnya.
Seperti dia mengenalkan Tapak Suci ke manca negara, ke negara-negara tetangga di Asia Tenggara merembet ke jazirah Arab hingga merambah benua Eropa.
“Dengan mengenal Muhammadiyah melalui seni bela diri Tapak Suci, jika nantinya warga Asia dan Eropa itu percaya lalu yakin dan akhirnya memilih akidah Islam. Ya itu inti Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, termasuk melalui budaya,”tutur Sasmito.(*)
Penulis Muhammad Syaifudin Zuhri Editor Sugeng Purwanto