Beberapa Kebijakan PWM Jatim
Prof Bianto lalu menerangkan beberapa kebijakan PWM Jatim. Yaitu lembaga majelis membuat rencana program lima tahunan dan diterjemahkan dalam program tahunan dengan anggaran.
“Semua kegiatan majelis lembaga difasilitasi terutama yang diadakan di kantor PWM tidak boleh ada SWP, tidak boleh ada SWO. Semua majelis lembaga free di PWM, tugas PWM memfasilitasi makan dan minum disesuaikan anggaran PWM, tidak tarikan selama kegiatan itu di kantor. Mudah-mudahan kegiatan di PDM bisa seperti PWM Jatim,” harap Prof Bi.
Tehnisnya, lanjut dia, kami atur minimal dua pekan sebelum kegiatan. Proposal sudah masuk terkait anggaran. Kita telaah tidak pakai lama, anggaran segera dikeluarkan. “Tidak ada istilah, gampang masuk sulit keluar, nggak ada cerita, semua harus dimudahkan,” tegasnya.
Program majelis-lembaga beririsan, bisa dilaksanakan secara sinergis, “Seperti short course itu lintas majelis-lembaga, pesertanya lintas AUM bahkan ke depan kita minta diadakan untuk seluruh bendahara PDM, sehingga saat Musyda bisa diperiksa singkat-singkat tidak menjadi isu yang ruwet,” tandasnya.
Dia mengaskan, majelis-lembaga juga dapat melakukan kemitraan dengan instansi lain. “Kami ada aturannya. Funding dari luar misalnya itu transfernya ke rekening atas nama PWM, majelis-lembaga yang bermitra itu tinggal ambil, seperti yang ditransfer tidak dikurangi sama sekali. Nanti pelaporannya, kami tidak ada kebijakan manajemen fee, tidak ada. Jadi kami dorong majelis lembaga bisa bermitra dengan instansi di luar,” jelas dia.
“Kemarin LDK ada kegiatan yang didanai Kanwil Kemenang. Dana Kemenag masuk ke PWM dulu, lalu LDK mengajukan untuk mengambil uang yang ditransfer Kanwil Kemenag sejumlah yang ditransfer. Digunakan dan dilaporkan itu saja yang kami lakukan,” kata Guru Besar UINSA Surabaya itu.
“Jika ada kelebihan, itu bagian zakat untuk organisasi. Ini soal integritas, kala mau mengakali saldonya dibuat nol rupiah, kami yakin majelis-lembaga jujur-jujur,” ungkap Prof Bi sambut ketawa hadirin.
Tanggungan Buku Sejarah
Prof Bi juga mengingatkan punya tanggungan program di periode kemarin, terkait komitmen menyusun buku sejarah Muhammadiyah daerah. Dari 38 kabupaten-kota yang sudah jadi dan diterbitkan ada 15 buku.
“Kami sangat apresiasi kepada bapak ibu sudah menyerahkan naskah, kami punya komitmen naskah yang diserahkan kami baca betul, kami edit, kami bantu editkan materinya bahasanya. Editornya biayanya dari kami, tapi kalau penulisannya biaya dari daerah, tim dari daerah,” tandasnya.
Dulu timnya kami latih semua supaya bahasanya sama, notasi ilmiahnya sama. Penerbitan urusan PWM kami jatah 500 eksemplar free. Harapan kami, program ini bisa diteruskan ke cabang-cabang. Ada banyak sekali cabang potensial Muhammadiyah yang belum ada dokumen sejarahnya.
“Contohnya Cabang Sepanjang sudah punya bukunya. Semua aktivisnya orang Arab, menarik bagaimana koloni Arab jadi Muhammadiyah. Ada yang jadi Muhammadiyah karena kerja di AUM, ada yang jadi Muhammadiyah karena istrinya,” katanya.
“Bagi yang belum menyusun buku sejarah lokal daerahnya, siap ya untuk menuntaskan? Kalau butuh pendampingan, nanti kami siapkan pendampingan penulisan,” imbuhnya. (*)
Penulis Muhammad Syaifudin Zuhri Editor Mohammad Nurfatoni