Post Truth Society oleh Ikhwanushoffa, Direktur Lazismu Jawa Tengah
PWMU.CO – Salah satu istilah penyakit baru di era digital adalah post truth society. Semacam sindrom orang buta menceritakan gajah dalam level yang akut. Kebenaran diambil alih oleh meme, potongan video, penggalan berita yang diviralkan.
Hancurnya otoritas kebenaran baku yang telah dipegang masyarakat, yakni ulama dan intelektual.
Era milenial serasa membawa kembali ke dunia zaman Yunani, di mana peran kebenaran para filsuf dan pemuka agama telah diambil alih oleh para retoris kala itu. Yang paling hebat debatnya, yang bisa menjatuhkan argumen lawan, salah atau benar, ia akan diikuti masyarakat. Para retoris kini mewujud dalam rupa buzzer.
Masyarakat terseret pada suasana emoh menelusur kebenaran pada sumbernya, hilangnya mengaji pada ulama dan intelektual langsung. Paling berbahaya adalah budaya tabayyun menjadi barang yang super langka.
Budaya muhibbah tokoh seperti yang rutin dilakukan kajian PCM Sumberlawang di bawah asuhan Bapa Fadjar Sutardii sangat penting untuk mendapatkan pengetahuan yang paling otentik dan informasi yang terakurat.
Ayo kunjung tokoh, ayo ngaji langsung, ayo tabayun, ayo silaturrahmi fisik. Jangan share informasi negatif tentang tokoh yang kita tahu saja tidak, pernah satu forum juga tidak, mengikuti tuntas perbincangannya saja belum, bahkan silaturrahim ke rumahnya juga tidak pernah.
Seperti bullying yang dulu pernah dilakukan sebagian warga Muhammadiyah yang tidak sepakat dengan pendapat almarhum Buya Syafi’i yang mantan Ketua Umum PP-nya sendiri dan masih sangat dihormati bahkan oleh Pimpinan Pusat sekarang.
Di era digital, ikhtiar tabayyun mestinya menjadi lebih mudah. Namun senyatanya manusia masih saja menikmati gunjingan, rasan-rasan dan berbagi informasi yang tak terkonfirmasi.
Ghibah dan fitnah kadang menjadi gerakan, head to head dengan budaya tabayun yang makin layu dan tak populer.
Wallaahu a’lam.
Wonodri, 6 Safar 1445 H
Editor Sugeng Purwanto