PWMU.CO – Haedar Nashir jelaskan alasan perubahan nama Lembaga Dakwah Khusus ke Lembaga Dakwah Komunitas (LDK). Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menyampaikanya dalam pidato ifitah di Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Dakwah Komunitas (Rakornas LDK) PP Muhammadiyah.
Acara berlangsung di Ruang Utsman bin Affan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Jum’at (25/8/2023) dengan tema Penguatan Dakwah Komunitas Berkemajuan.
“Alhamdulillah pada sore hari ini kita hadir untuk pembukaan rakornas (LDK), maka atas nama pimpinan pusat kami berdua mengucapkan selamat atas rakornas ini,” ucapnya.
Haedar lantas menjelaskan alasan perubahan nama Lembaga Dakwah Khusus menjadi Lembaga Dakwah Komunitas.
“Kenapa kita mengubah nama itu dari dakwah khusus ke dakwah komunitas? Pertama memang konsep khusus itu bisa dimaknai macam-macam. Lalu kita tidak ingin ada istilah yang kabur, atau bersifat absurd, lalu ketemulah dakwah komunitas, yang rujukannya adalah hasil muktamar 2015,” terangnya.
Haedar menyebutkan bahwa dakwah komunitas sebagai bagian dari praksis Muhammadiyah untuk melanjutkan praksis gerakan komunitas yang sejak awal sudah dirintis oleh Kiai Ahmad Dahlan.
“Sebuah gerakan apalagi dakwah yang bersifat praksis, yaitu refleksi kegiatan yang bersifat aksi. Dulu Kiai Dahlan bikin rumah yatim, rumah sakit, rumah miskin, ini sebagai implementasi dari al maun yang ditafsir ulang secara luar biasa,” terangnya.
Menurut Haedar Kiai Ahmad Dahlan melihat pemahaman tentang al-Quran yang tidak melahirkan perubahan. “Orang berhenti di menghafal tapi al-Maun tidak menjadi kekuatan penggerak, maka lahirlah al-Maun dalam kegiatan praksis sosial, rumah sakit, rumah yatim rumah miskin,” ucapnya.
Haedar menjelaskan bahwa gerakan praksis itu tidak dapat dilepaskan dari strategi, pendekatan, dan puncaknya paradigma.
“Dalam Islam ada lagi pandangan teologis. Nah perubahan ini punya kepentingan, konteks dan pandangan yang memang kita ingin mengubah paradigma pendekatan dan strategi dakwah khusus yakni dalam dakwah komunitas. Pertama dalam aspek paradigma, dakwah tidak mungkin diubah dalam gerakan komunitas kalau paradigmanya tidak diubah,” terangnya.
Haedar mengisahkan bahwa sebelumnya dalam dakwah khusus ada paradigma muaradhah (pertentangan).
“Dulu kristenisasi, maka dulu kuat sekali, dakwah khusus itu dakwah melawan kristenisasi, dan Muhammadiyah sebagai gerakan pembendung arus maka melakukan itu. Karena kecenderungannya itu head to head, maka kita menyamaratakan situasi yang sebenarnya tidak terjadi itu, padahal ada banyak komunitas khusus baik yang sudah berislam maupun yang di luar itu memerlukan campur tangan kita yang itu banyak terabaikkan,” jelasnya.
Haedar menjelaskan bahwa konsep komunitas itu spesifik, “Maka ketika komunitas spesifik itu terhimpun itu menjadi society, yang memiliki karakter-karakter tertentu, masyarakat adat, masyarakat marginal, masyarakat pedesaan, nelayan, dan perkembangan mutaakhir itu muncul komunitas yang di luar dugaan kita,” terangnya.
Haedar menyebutkan saat ini memang muncul kelompok-kelompok sosial baru, kelompok difabel, bahkan medsos menjadi masyarakat besar, yang di dalamnya ada banyak komunitas termasuk buzzer.
“Nah perubahan ini tentu memerlukan perubahan paradigma teologis sebagaimana Kiai Dahlan mengajarkan teori al maun, al ashr untuk mengubah paradigma berfikir,” tandasnya.
Penulis Ain Nurwindasari Editor Mohammad Nurfatoni