Gaya Selingkung
Terakhir, untuk menulis yang enak dibaca, menggunakan gaya selingkung media. Contohnya, penulisan gelar pendidikan di tulisan berita tidak menggunakan titik dan koma.
“Ini saya akan diprotes guru Bahasa Indonesia,” canda Fatoni.
Tapi dia menegaskan, guru Bahasa Indonesia harus paham di dunia jurnalistik itu ada selingkung. “Maaf ya, Bu,” ucapnya kepada kontributor yang berprofesi guru Bahasa Indonesia.
Begitu pula dengan penulisan al-Quran sesuai gaya selingkung PWMU.CO. “Ini sudah diskusi panjang kalau al-Quran sudah kita bakukan. Tidak boleh selain ini!” tegasnya.
Agar lebih paham, dia bertanya, “Al-Quran itu kata utamanya apa? Al-nya atau Qurannya?” Peserta kompak menjawab Quran.
“Al itu untuk menunjukkan makrifat. Itu kata imbuhan. Al-nya kecil. Yang besar Q. Dikasih garis (-),” terangnya. Penulisan ini kata Fatoni hasil diskusi peninggalan almarhum Nadjib Hamid.
Contoh lainnya ialah penulisan shalat, pakai h. “Shalat apa salat? Yang benar KBBI adalah salat tetapi kita pernah diprotes. Karena ini media keislaman Muhammadiyah. Kayak tidak Islami,” ungkapnya.
Fatoni menegaskan, selingkung media memang menyalahi kata baku. “Itu menjadi kesepakatan di media. Jawa Pos Ramadhan nggak pakai h, Kompas pakai h,” imbuhnya.
Dugaan Fatoni benar. Khoen Eka Anthy, salah satu kontributor yang berprofesi guru Bahasa Indonesia SMA Muhammadiyah 3 Kota Batu menyarankan, “Menurut saya lebih baik kita mengefektifkan kalimat ucapan kata daripada kita menghilangkan titik koma di gelar yang memang itu sangat penting. Di soal-soal literasi itu pasti muncul dan pasti menjadi sebuah kesalahan.”
Kemudian kontributor lainnya asal SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo, Khusnul Isa, berpendapat, “Menurut saya, jika PWMU atau surat kabar lainnya menggunakan kata baku, maka kita tidak akan tahu mana kata yang salah.”
Karena dalam belajar Bahasa Indonesia, lanjutnya, jika kita mengetahui yang salah maka yang benar akan lebih diketahui siswa. “Memang dari dulu ciri khas jurnalistik ada gaya selingkungnya. Itu tidak boleh tidak ada. Karena harus menjadi ciri khas yang tidak bisa dihilangkan dari media,” imbuhnya. (*)
Penulis Riska Oktaviana Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni