Kisah di Balik Buku
Pertama, menulis buku butuh pengorbanan termasuk dalam bentuk uang. Bukankah modal utama menulis itu harus banyak membaca buku? Sementara, di antara cara mudah untuk mendapatkan buku adalah dengan membelinya.
Perhatikan Natsir dan Abdullah Said, misalnya. Keduanya, rajin membeli buku. Saat bersekolah, uang beasiswa yang didapat mereka habis untuk belanja buku.
Kedua, menulis buku perlu kesabaran dan ketekunan. Dibutuhkan waktu yang panjang, bisa bertahun-tahun, untuk menyelesaikan sebuah naskah. Sekadar contoh, simak berapa lama Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. Perhatikan, berapa lama Ahmad Warson Munawwir merampungkan Kamus Arab-Indonesia.
Hanya saja, dua contoh di atas sekadar penggambaran agar kita menyiapkan kesabaran dan ketekunan yang ekstra. Dua karya di atas memang menuntut waktu yang tak sebentar dalam penulisannya. Selanjutnya, fakta lain, banyak juga buku yang bisa dikerjakan dalam waktu yang relatif pendek. Semua itu, tergantung tema dan kedalaman pembahasannya.
Ketiga, buku bisa kita tulis di situasi apapun. Tentu, secara umum, buku leluasa kita tulis saat kita bebas beraktifitas di mana-mana. Hanya saja, jika karena satu dan lain hal kemerdekaan kita direnggut pihak lain (semisal ditahan) maka tak ada alasan untuk berhenti menulis. Tetaplah berkarya.
Simak, bagaimana Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar di dalam tahanan rezim Orde Lama. Hal yang sama juga dikerjakan Natsir yang menulis buku Di Bawah Naungan Risalah di tahanan rezim Orde Lama. Sementara, Imaduddin AbdulRahim menyunting buku Kuliah Tauhid karyanya, yang naskahnya diselundupkan ke dalam sel tahanan di rezim Orde Baru.
Ada kisah menarik di balik buku-buku tertentu yang tergolong fenomenal. Misal, lihatlah buku Capita Selecta dan Fiqhud Da’wah karya Natsir. Sebagai buku yang tergolong sebagai kumpulan tulisan, Natsir beruntung karena ada pihak lain yang membantunya dalam proses pengumpulan naskah-naskah yang sebelumnya tersebar.
Capita Selecta, buku yang terbit kali pertama pada 1955, hadir berkat usaha dari D.P. Sati Alimin yang menghimpun puluhan tulisan Natsir yang tersebar di berbagai penjuru. Dalam usaha pengumpulannya, D.P. Sati Alimin dibantu teman-temannya di Sumatera Tengah dan Bandung. Juga, dibantu oleh Perpustakaan Lembaga Kebudayaan Indonesia di Jakarta. Di buku itu ada rubrikasi sesuai tema. Ada pula bulan dan tahun penulisannya, sehingga kita bisa menangkap “semangat zaman” saat tulisan itu dibuat (Natsir, 1973: 5-6).
Fiqhud Dakwah karya Natsir yang tersohor itu, adalah contoh lain. Buku itu terbit karena hasil kerja S.U. Bayasut. Dia telaten mengumpulkan berbagai materi pada kursus “Latihan Calon Muballigh” yang disampaikan Natsir dan bertebaran di banyak tangan peserta.
Mulailah!
Tulisan adalah salah satu media dakwah yang sangat penting. Selanjutnya, mengingat semua orang berkewajiban berdakwah, maka ada baiknya kita berusaha untuk belajar menjadi penulis yang baik. Disebut penulis yang baik jika tulisan kita mencerahkan dan dibaca banyak orang.
Tulisan Natsir, sampai hari ini, mencerahkan dan terus dibaca secara luas. Hal ini, karena dalam pandangan D.P. Sati Alimin, tulisan Natsir bersandar kepada hujjah yang kuat, berspiritkan nilai-nilai Islam, serta selalu mengedepankan bingkai bahwa Islam sebagai aturan hidup untuk semua pecinta kemanusiaan dan pecinta Tuhan.
Sungguh, bisa luar biasa besar energi positif yang ditimbulkan oleh sebuah buku. Lihat, bagaimana Fiqhud Dakwah karya Natsir mempengaruhi banyak pengemban dakwah, tidak hanya di negeri ini tapi juga di Malaysia. Sebaliknya, di sisi lain, Natsir sendiri terpengaruh oleh Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan.
Alhasil, menulislah! Mereka yang menulis punya peluang besar dalam memberi pengaruh positif bagi umat.
Mari, menulislah! Banyak pilihan jalan dalam menghasilkan sebuah buku! Bismillah, semoga Allah mudahkan dan kuatkan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni