Membaca Akrobatik Partai dari Nalar Politik Islam

Aji Damanuri

Membaca Akrobatik Partai dari Nalar Politik Islam; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. 

PWMU.CO – Akrobatik politik para politisi dalam kontestasi politik sebenarnya tidak mengejutkan jika kita pahami nalar politiknya. Orang sering terkaget-kaget dalam memahami manuver politik hanya dari pencitraan positif atau bujuk rayu manis yang sering tidak sesuai yang diharapkan. Manis di depan pahit di belakang. Jujur di depan khianat di belakang. Tampak rukun di depan bertikai di belakang. Kompak di depan menelikung di belakang. Santun di depan rakyat tapi membuat kebijakan yang menjerat. San seterusnya.

Setiap sikap memiliki nalarnya sendiri, begitu juga dengan politik. Orang Barat biasa menyebut nalar politik dengan 3G, god (tuhan), gold (emas/kekayaan), dan glory (kejayaan/kekuasaan). Orang Timur biasa menyebut harta, tahta, dan wanita sebagai trilogi nalar politik. Sementara itu al-Jabiri dalam bukunya yang terkenal Al-Aql Al-Siyasi Al-Arabi atau Malar Politik Arab menyebutkan trilogi nalar politik Arab, yaitu: kabilah, ghanimah, dan akidah.

Kabilah merupakan representasi dari nalar politik yang nepotis dan sektarian, didasarkan pada kepentingan kelompok saja. Masing-masing hanya memikirkan bagaimana kelompoknya sejahtera, memenangkan kontestasi dan menguasai semua.

Sikap sektarian yang dikuti kecenderungan memanfaatkan agama sebagai alat politik juga menjadi isu strategis Muhammadiyah. Muhammadiyah cukup prihatin terhadap isu rezimisasi agama, yaitu upaya meletakkan mazhab/kelompok tertentu dalam pemerintahan. Upaya mewarnai dunia dengan satu warna kelompok tertentu adalah sikap primitif.

Selain bertentangan dengan hukum sosial juga kontraproduktif dengan al-Qur’an Surat al-Hujurat Ayat 13 yang menerangkan, “Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

“Fatwa agama yang mestinya keluar dari sebuah ijtihad, sering kali menjadi fatwa politik yang ngawur.”

Sedangkan ghanimah adalah manifestasi dari kompensasi politik transaksional yang cenderung konsumtif, boros, dan mahal. Nalar ghanimah yang menempatkan kekayaan sebagai target politik menjadi nalar lain yang cukup signifikan. Maka wajar jika orientasi politik selalu praktis, yaitu kemenangan. 

Tidak heran juga jika menghalalkan segala cara untuk memenangkan kontestasi politik, baik menjadi legislator maupun pejabat publik. Biaya politik mahal menjadi ajang ‘perjudian’ nasib dan masa depan bangsa. Gaya hidup mewah para politisi menjadi penyumbang lain keculasan politik. Sadar atau tidak pada akhirnya ketika menjadi politisi hanya sibuk mengumpulkan ‘laba’ dari investasi politiknya.

Lebih memprihatinkan lagi ketika nalar akidah menjadi alat politik. Nalar akidah adalah representasi dari paham ataupun ideologi politik yang sering kali kooptatif dan doktriner. Meskipun akidah dalam konsepsi al-Jabiri bisa bermakna dua, menjadikan agama sebagai alat politik atau menjadikan politik sebagai alat agama, namun kecenderungan politisasi agama telah menjadi fakta sejarah perpolitikan dunia.

Berapa banyak peperangan atas nama agama yang terjadi di dunia ini, baik antaragama maupun iternal agama, bahkan dalam sekup lebih kecil internal ormas. Semua mengklaim benar atas nama agama, bahkan khilafiah fikih yang mestinya menjadi hal lumrah secara keilmuan bisa menjadi alat untuk saling serang.

Fatwa agama yang mestinya keluar dari sebuah ijtihad, sering kali menjadi fatwa politik yang ngawur. Membatalkan baiat jika mengikuti parpol tertentu, uang suap bisa menjadi halal dengan dibacakan al-Fatihah. Bahkan yang lebih ekstrem fatwa kehalalan darah saudaranya karena politik. Karenanya bermain di wilayah akidah dalam berpolitik cenderung memanfaatkan agama untuk kepentingan duniawi semata.

Baca sambungan di halaman 2: Politik Nilai

Aji Damanuri

Politik Nilai

Tawaran politik nilai sering kali ditertawakan sebagai hal yang sia-sia. Banyak yang bilang dalam politik praktis tidak butuh teori, tidak butuh nilai, tidak memerlukan idealisme. Yang dibutuhkan hanya kemenangan. Jika fokus utama politik hanya kemenangan, biasanya semua menjadi halal. Tidak memperhitungkan dari mana biaya politik, siapa yang menjadi mitra koalisi, dengan cara apa kekuasaan diperoleh, yang penting menang.

Padahal sebagai seorang Muslim kita diingatkan oleh Allah agar memilih cara yang benar dalam hal yang benar. “Dan katakanlah: ‘”‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.'” (al-Isra’: 80).

Islam mengajarkan meraih sesuatu secara benar, dengan cara yang benar, dan hanya bersandar pada kekuasaan Allah Sang Penolong. Tidak ada rumus dalam Islam raihlah kekuasaan dengan cara apapun agar kamu bisa berkuasa dan bisa berbuat kebenaran.

“Sebagai umat beragama tentu kita berharap lahirnya politisi yang terus berpegang pada nilai-nilai agama.”

Politik nilai memang terkesan klise dan tidak realistis. Bagaimana mungkin melawan keculasan politik dengan hanya mengandalkan kebaikan. Mungkin kita terbawa fiksi Mahabharata, di mana ketika memulai perang Basudewakrisna mengatakan bahwa kebohongan, kelicikan, dan tipu muslihat akan dilakukan dalam perang. Untuk meraih kebenaran maka ketidakbenaran akan dilakukan. Ini sama sekali jauh dari nilai-nilai Islam yang seharusnya dipegangi oleh setiap Muslim.

Ambisi kemenangan sering kali nalar kabilah, ghanimah, maupun akidah menjadi nalar destruktif karena kehilangan nilai. Kehilangan nilai dari nalar kabilah, kehilangan nilai nalar ghanimah, bahkan kehilangan nalar akidah. Tidak heran jika yang muncul hanya nalar rimba politik yang pragmatis, destruktif, dan hanya mengejar keuntungan investasi politik belaka.

Nalar kabilah seharusnya melahirkan sistem partai yang egaliter dan profesional, politisi yang jujur, dan negarawan yang berprestasi. Bukan melahirkan petugas-petugas partai yang cupet pikir, sempit pergaulan, dan katak dalam tempurung yang pada gilirannya hanya melahirkan politisi sektarian yang serakah.

Nalar ghanimah semestinya melahirkan sistem pembiayaan politik yang produktif dan sustainable didasarkan pada pola pikir yang rasional dan objektif. Sedangkan nalar akiidah mestinya melahirkan politik nilai, bermoral, bermartabat ,dan berimbas pada kemaslahatan umat.

Sebagai umat beragama tentu kita berharap lahirnya politisi yang terus berpegang pada nilai-nilai agama, sebagai warga bangsa tentu berharap memiliki politisi yang memiliki nilai-nilai luhur Pancasila. Namun sayangnya kabilah, ghanimah, dan akidah masih akan menguasai nalar politik karena nilai yang semakin menipis. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version