Muhammadiyah dan Godaan Syahwat Politik; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Sejak keran reformasi terbuka lebar, khususnya di bidang politik, ‘syahwat politik’ umat meningkat secara vertikal. Politik ideologi dan aliran yang pernah muncul, bangkit kembali dengan kemasan yang berbeda. Keadaan demikian juga berimbas pada gerakan Muhammadiyah. Adalah hal wajar jika setiap ormas yang memiliki kader terbaik berparisipasi dalam perhelatan politik. Logikanya, jika kader yang diajukan merupakan orang-orang terbaik, tentu akan terpilih orang yang baik pula.
Persoalan muncul ketika dikaitkan dengan Khittah Muhammadiyah, strategi, dan waktu. Sebagaimana kita sadari, Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar yang bertujuan menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-sebenarnya.
Memang organisasi ini sejak kelahirannya tidak didesain untuk berpolitik. Meski dalam episode sejarah pernah terlibat dalam politik, tetapi selama itu tetap mampu menjaga Muhammadiyah selalu tegak, independen, netral, bahkan memberikan warna terhadap perpolitikan Tanah Air.
Keterlibatan kader dalam politik praktis sering kurang mencerminkan visi besar Persyarikatan disebabkan beberapa hal. Kurangnya komitmen dalam membela kepentingan Persyarikatan dibanding dengan godaan politik praktis, boleh jadi organisasi ini sekadar dijadikan batu loncatan saja oleh para kader untuk mobilitas pribadi.
Sangat sulit menghindarkan diri dari circle negatif. Yusril Ihza Mahendra dalam TikTok-nya menyatakan orang baik akan menjadi jahat ketika hidup dalam sistem yang jahat, sebaliknya orang jahat bisa menjadi baik dalam sistem yang baik.
“Dalam euforia politik praktis dalam pileg, pilkada, dan pilpres, warga Muhammadiyah gampang lupa dengan Khittah-nya yang berisi pandangan bahwa Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan keagamaan dan kemasyarakatan.”
Merapatnya kekuatan-kekuatan politik (partai/tim sukses) yang meminta dukungan Muhammadiyah baik secara formal maupun informal, sehingga sering menimbulkan konflik kepentingan dengan perserikatan. Kepentingan politik sering memosisikan Muhammadiyah sebagai parpol dengan daya tawar transaksional dengan iming-iming kompensasi tertentu. Muhammadiyah secara politik memang memiliki daya magnet yang cukup besar, sehingga menggoda bagi warganya dan juga orang lain yang berkepentingan untuk menggodanya.
Sebenarnya dasar-dasar sikap politik Muhammadiyah telah diletakkan oleh KH Mas Mansur dalam Tanwir 1939 dengan rumusan sebagai berikut: “Bagi Muhammadiyah politik itu penting, tetapi tidak menjadi bidang garap Muhammadiyah. Jika warga Muhammadiyah ingin berjuang di bidang itu maka harus di bawah wadah tersendiri yang berada di luar Muhammadiyah, yang tidak berhubungan secara kelembagaan dengan Muhammadiyah, tetapi keduanya harus bias bekerja sama dan harus pula bekerja sama dengan kekuatan umat lainnya”.
Dalam euforia politik praktis dalam pileg, pilkada, dan pilpres, warga Muhammadiyah gampang lupa dengan Khittah-nya yang berisi pandangan bahwa Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan keagamaan dan kemasyarakatan.
Dalam konteks kontestasi politik seharusnya Muhammadiyah lebih mengedepankan kearifan dan kecerdasan lokal yang membuka kemungkinan secara luas bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya sesuai dengan norma-norma Islam dan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah. Dalam arti bahwa hubungan Muhammadiyah dengan politik bukan terletak pada hubungan organisatoris dan ideologis, tetapi bagaimana gerakan ini memperlakukan kekuatan politik dan perilaku politik yang ada.
Baca sambungan di halaman 2: Muhammadiyah Tak Lagi Mendominasi