Muhammadiyah Tak Lagi Mendominasi
Politik akomodatif dan sistem teologi yang mapan, merupakan titik masuk kemungkinan munculnya keragaman kecenderungan pilihan politik dan hubungan sosial warganya. Di lain sisi tidak sedikit yang menilai Muhammadiyah telah berhenti berfungsi sebagai pembaharu. Banyak yang bilang Muhammadiyah telah sampai titik jenuh: mundur tidak, maju pun tidak. Muhammadiyah telah mandek.
Penilaian seperti ini membuat warga Muhammadiyah tersipu-sipu. Sebuah perkumpulan yang masih enggan mati, jelas harus geregetan menghadapi penilaian umum seperti itu. Tidak ada kata yang lebih menggelisahkan bagi perkumpulan yang progresif, kecuali bahwa ia dianggap jumud. Lebih parahnya lagi terkesan gagap politik, sering terombang-ambing oleh bandul politik yang dinamis.
Dulu, ketika kemampuan negara dan masyarakat untuk menangani kepentingan umum (sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan aspek sosial lainnya) amatlah terbatas, sehingga Muhammadiyah yang mampu menangani masalah tersebut kelihatan paling progresif. Sekarang ketika kemampuan pemerintah dan organisasi lain menyamai bahkan dalam beberapa hal melebihi Muhammadiyah, baik dari segi pelayanan, bangunan, pembinaan SDM, kemampuan finansial dan lain-lain Muhammadiyah kelihatan mengalami kemunduran. Hal ini wajar karena aktor yang paling kuat dan menentukan secara politik adalah pemerintah.
“Muhammadiyah harus tetap istikamah mempertahankan komitmen bahwa tanggung jawab kita kepada umat, basis pendukung dan warga di bawah serta segenap pihak yang dilayani, bukan kepada penguasa, maupun partai politik.”
Tetapi apapun alasannya, fakta menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak lagi mendominasi, baik pendidikan, rumah saki,t dan lain sebagainya. Namun demikian Muhammadiyah bisa terus berbuat dan menjadi pionir sebagaimana disampaikan Kang Sobary dalam bukunya Merintis Kemandirian Politik Muhammadiyah, yang diterbitkan Gramedia tahun 2000, dengan catatan:
Muhammadiyah harus memiliki kemandirian politik. Minimal para pemimpin terasnya mandiri, berprinsip, dan memiliki wawasan keumatan yang jelas. Artinya organisasi lahir demi pelayanan pada umat, dan bukan pengabdian kepada para pemimpinnya, apalagi sebagai alat politik. Para tokohnya harus tampil dalam pengabdian masyarakat di lembaga itu tanpa beban politik dan tanpa mengharap pamrih pribadi.
Tokoh Muhammadiyah tidak tergiur permainan politik praktis yang bias menggoda mereka menaiki punggung umat demi kepentingan politik mereka sendiri. Bagaimanapun sukarnya, Muhammadiyah harus tetap istikamah mempertahankan komitmen bahwa tanggung jawab kita kepada umat, basis pendukung dan warga di bawah serta segenap pihak yang dilayani, bukan kepada penguasa, maupun partai politik, sedekat apapun pertai tersebut secara histories dengan Muhammadiyah.
Gerakan dakwah Muhammadiyah harus menyeimbangkan antara amar makruf nahi mungkar. Selama ini para dai lebih banyak ber-amar makruf nahi mungkar. Tentu langkah ini harus ditempuh dengan arif dan cerdas. Dengan demikian Muhammadiyah tidak boleh terikat dan tersandera hanya dalam satu partai atau satu tokoh, namun bisa masuk dan mewarnai semua kekuatan politik sebagai lahan dakwah yang luas. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni