Agar Terang Melihat Sekitar; Resensi oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sembilan judul lainnya
PWMU.CO – Buku ini kumpulan dua belas tulisan Tohir Bawazir, praktisi penerbitan. Ada yang pernah dipublikasikan, ada juga yang baru. Temanya beragam.
Buku dibuka dengan tulisan Gelap Mata, judul yang lalu dipilih sebagai judul buku. Ada pesan kuat di tulisan sepanjang sebelas halaman ini.
Seringkali, kata Tohir Bawazir (TB), “Hanya gara-gara perbedaan mazhab, perbedaan ormas, perbedaan komunitas pengajian, kita langsung apriori dan menolak kebenaran hanya karena bukan dari golongan kita”. Berhati-hatilah, agar tak gelap mata dalam beragama sebab “Selain dapat menurun, dia juga dapat menular (h.8).
Menular? Atas kemungkinan itu, TB memberi ilustrasi. Dulu, di Madinah sebelum kerasulan Muhammad Saw, kaum Yahudi-lewat rahib-rahibnya yang memegang Kitab Taurat-menceritakan ciri-ciri seorang Nabi Akhir Zaman. Hanya saja, ketika semua kriteria itu ada pada Nabi Muhammad Saw yang bangsa Arab dari Mekkah dan bukan dari golongannya (Bani Israil), kaum Yahudi menolak (h.3-4).
Bagaimana dengan di Mekkah, kota yang warganya dengan sukarela menggelari Muhammad muda sebagai Al-Amin (yang dapat dipercaya)? Ternyata, begitu Muhammad Saw diutus sebagai Nabi, Abu Jahal berdiri paling depan menolaknya. Hal ini, dipicu ego kelompok atau kabilah. Abu Jahal berasal dari Bani Makhzum, Nabi Muhammad Saw dari Bani Hasyim.
Dasar penolakan Yahudi di Madinah dan Abu Jahal di Mekkah, paralel! Sama-sama karena fanatisme golongan. Itu, mengingatkan kepada pembangkangan iblis terhadap perintah Allah agar bersujud kepada Adam As. Iblis menolak, tak sudi, karena dirinya terbuat dari api dan Adam dari tanah.
TB menutup tulisan ini dengan elok. Dibawanya tema ini ke sekitar kita. Inilah penyakit gelap mata akibat fanatisme buta. Bahwa, “Seorang pemimpin yang buruk pun dapat dielu-elukan sedemikian rupa, karena mereka bagian dari kelompok” (h.9).
Buka Mata
Sekarang, kita buka Ulama Besar Disesatkan Gara-Gara Fatwa. Ini berawal dari percakapan ringan tapi berujung kepada pesan-pesan yang dalam.
Alkisah, di sebuah hari TB menumpang sebuah taksi yang suasana di dalamnya islami. Ini karena performa si pengemudi yang mengaku aktif “belajar” sekaligus “mengajar” agama.
Tidak lama percakapan mereka, hanya sekitar setengah jam. Awalnya, TB respek dengan si pengemudi. Belakangan, TB merasa perlu “meluruskan” kala si pengemudi berkata-kata miring tentang Syaikh Yusuf Qaradhawi. “Wah itu sih ulama sesat. Jangan diambil ilmunya,” kata si pengemudi dengan suara agak meninggi (h 42).
Mengapa sesat? Lalu si pengemudi memberi alasan, karena Yusuf Qaradhawi berfatwa boleh mengucapkan Selamat Natal. Juga, membolehkan bom bunuh diri. Pun, dia anggota Ikhwanul Muslimin.
Atas hal itu, TB lalu menjelaskan. Bahwa, kita tidak boleh gampang menyesatkan apalagi mengkafirkan Ulama Besar karena satu-dua fatwanya yang kita tidak sependapat atau fatwanya tidak sama dengan fatwa ulama panutan kita. Sebab, dari dulu para ulama sudah sering berbeda pendapat mengenai masalah fiqih.
Mereka, kata TB, sudah pasti memiliki hujjah masing-masing yang dapat dipertanggungjawabkan secara syar’iah dan ilmiah. Lagi pula setiap fatwa memiliki konteks persoalan masing-masing dan tidak dapat kita bawa ke sana ke mari fatwa tersebut. Ini, karena sebuah fatwa dapat cocok di suatu tempat tapi tidak tepat kalau digunakan di tempat lainnya. Begitu pula fatwa tertentu sudah tepat dan benar pada zamannya, namun belum tentu tepat kalau digunakan di zaman lainnya, terang TB (h.42-43).
Masih tentang perlunya ilmu yang cukup untuk menetapkan sebuah posisi hukum. Bacalah tulisan berjudul Keyakinan Mengerikan (h.56-67).
Di sebuah kisah shahih, ada pemuda-Sahabat Nabi-baru terkena musibah. Kepalanya retak tertimpa batu. Lalu, dalam tidurnya, pemuda tadi bermimpi basah.
Pagi harinya, pemuda tadi bingung menghadapi kenyataan tersebut. Bertanyalah dia kepada teman-temannya, bagaimana hukumnya: Apakah harus mandi junub, sementara kepalanya penuh luka.
Teman-temannya “berfatwa”: Dia tetap harus mandi junub agar suci kembali. Sahabat muda itu mengikuti pendapat temannya. Akibatnya fatal, dia meninggal sehabis mandi.
Mendengar itu, Rasulullah Saw marah dan berkata, “Mereka telah membunuhnya! Kalau tidak tahu, seharusnya mereka bertanya. Padahal seharusnya cukup dengan bertayamum” (HR Dawud dari Jabir bin Abdullah RA).
Baca sambungan di halaman 2: Tangisan dan “Tangisan”