Tangisan dan “Tangisan”
Tangisan sudah menjadi bagian kehidupan orang-orang shalih. Mereka menangis, misal, saat mendengar ayat Al-Qur’an tentang kematian, Hari Berbangkit, dan neraka yang menakutkan.
Hanya saja, ada tangisan yang harus diwaspadai! Itulah, Tangisan Politik (h.83-88). Bagi politisi, setiap ada momentum penderitaan rakyat seperti adanya kenaikan BBM atau kenaikan harga-harga, selama yang menjadi penyebab adalah lawan politik maka mereka dapat menggunakannya sebagai senjata peraih simpati. Caranya, dengan menangis!
Perkara nanti saat dia berkuasa melakukan hal yang sama bahkan bisa lebih buruk lagi, itu bukan hal yang penting. Hal yang mendesak, rakyat awam sudah tahu bahwa dia ada di pihak yang sedang menderita.
Tangisan para politisi itu tak ubahnya seperti tangisan palsu saudara-saudara Nabi Yusuf As di hadapan sang ayah, Nabi Ya’kub As. Mereka menangisi hilangnya sang adik, padahal mereka sendiri yang “melenyapkan”-nya.
Apakah buku ini berisi kajian-kajian berat seperti di atas? Tidak! Banyak juga yang ringan. Meski begitu, pesan yang dikandungnya tetap kuat.
Bacalah Belajar “Haji” dari Ibu Juminah. Di tulisan itu, TB berkisah tentang sosok Juminah warga Kendal Jawa Tengah. Dia pemulung plastik dan barang bekas, yang miskin. Meski begitu, sudah lama dia berniat berhaji.
Sampai suatu saat tabungannya mencapai 22 juta rupiah. Uang itu masih belum cukup untuk biaya haji. Belum lagi masih harus menunggu antrean yang sangat lama. Terasakan, makin mustahil niat berhaji terwujud.
Singkat kisah, uang itu lalu diwujudkankannya menjadi seekor sapi qurban. Manfaatnya bisa dirasakan orang banyak.
TB lalu beropini, agar Juminah dan orang-orang semacam beliau dapat diundang sebagai Tamu Allah, sebagai haji tamu Kerajaan Saudi. Ini, jauh lebih bermanfaat ketimbang memberikan fasilitas kepada pejabat pengincar haji gratis yang seringkali kebijakannya tidak berpihak ke umat Islam (h.136).
Baca sambungan di halaman 3: Doa dan Kenyataan