PWMU.CO – Jadi pimpinan Muhammadiyah jangan setengah-setengah. Harus jelas sikapnya cerminan dari kalimat syahadat.
Demikian pesan Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Timur Dra Hj Rukmini Amar MAP pada acara pengukuhan PCM, PCA Panceng dan PRM, PRA se-Cabang Panceng Kabupaten Gresik bertempat di Perguruan Muhammadiyah Wotan, Sabtu (16/9/23).
”Jadi pimpinan Muhammadiyah atau Aisyiyah itu tidak boleh setengah-setengah akan tetapi harus jelas. Kalimat syahadat dan ikrar yang setiap kali terucap saat mengawali sambutan seyogyanya menjadi landasan bagi seorang pemimpin,” kata Rukmini Amar.
Begitu juga pesan dalam Mars Aisyiyah yang selalu disenandungkan, sambung dia, jangan hanya berhenti pada tataran konsep, namun harus diimplementasikan pada tataran praktis oleh para pimpinan dan anggotanya.
Di tengah ceramahnya, ia bertanya pada hadirin. Pertama, mengapa jumlah sinar matahari pada logo Muhammadiyah berjumlah 12?
Ia lalu menjelaskan, jumlah 12 sinar pada logo Muhammadiyah bukan jumlah bulan dalam setahun atau merujuk pada tahun berdirinya Muhammadiyah, 1912.
Namun jumlah 12 sinar itu hasil telaah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam memahami al-Quran surat ash-Shaf ayat 12.
Dia menuturkan, dalam ayat itu diceritakan ada sekelompok sahabat Nabi Isa as yang disebut khawariyyin yang berikrar sebagai penolong agama Allah swt, ansharullah.
”Berdasar telaah ayat itu, Kiai Dahlan bercita-cita agar Muhammadiyah maupun Aisyiyah menjadi penolong agama Allah swt sebagaimana sahabat khawariyyin,” tandasnya.
Ia melanjutkan, telaah Kiai Dahlan pada ayat lain, surat Muhammad, juga mengajarkan, pemimpin itu tidak boleh jadi beban. Sebaliknya harus mencari dan menjadi solusi atas persoalan yang dihadapi anggotanya.
Rukmini menambahkan, makna sabar itu tidak diam, pasif tanpa solusi, akan tetapi bergerak mencari pemecahan atas persoalan yang dihadapi.
Ia pun menyerukan pada para pendidik di sekolah Muhammadiyah, agar lebih mendalam penyampaian kajian dua tokoh pahlawan nasional, Kiai Ahmad Dahlan dan Nyai Siti Walidah, sehingga para kader lebih paham dan mengerti dua tokoh tersebut.
Pertanyaan kedua, mengapa matahari dipilih sebagai simbol dan lambang pada logo Muhammadiyah?
Menurut Rukmini, Kiai Dahlan memberikan penjelasan, karena matahari itu menyinari selama 24 jam. Beda dengan bulan atau benda langit lainnya yang terbatas jangka waktu aktivitasnya.
”Matahari adalah benda langit yang memberi tanpa berharap balasan. Bayangkan, bagaimana jika matahari sedetik saja menghentikan aktivitasnya, tidak bersinar lagi. Dipastikan seluruh tatanan alam semesta akan kacau. Namun, apakah sampai detik ini matahari pernah mutung (berhenti) bersinar?”
Dari filosofi matahari itu, Rukmini menjelaskan, Kiai Dahlan berharap Muhammadiyah dan Aisyiyah seperti matahari. Selalu memberi tanpa berharap kembali.
”Pimpinan di Muhammadiyah dan Aisyiyah pun juga tidak boleh mutungan. Tetapi harus terus bergerak, menggerakkan 30 juz al-Quran, beramar makruf dan bernahi munkar,” tandasnya.
Bertajdid pada kelompok masyarakat yang sudah paham. Bagi yang belum, ajak pada kebiasaan yang ringan, memudahkan dan menggembirakan. Karena Muhammadiyah adalah organisasi gerakan, bukan majelis taklim.
Ketua PWA ini mengingatkan, di Muhammadiyah tidak mengenal istilah pengurus tapi pimpinan. Sebab kalau pengurus nanti menjadi beban dan minta diurus oleh anggota. Beda dengan pimpinan, sebagai contoh dan penggerak, baik di depan maupun di belakang.
Rukmini menyinggung pimpinan profetik yang mengacu pada kepemimpinan Rasulullah saw. Ia lalu menyitir al-Quran surat Ali Imran ayat 159, yaitu adab bermusyawarah.
Di organisasi Muhammadiyah, godaan kadang muncul biasanya pada AUM yang subur atau basah. Seorang pemimpin bila ada yang khilaf, maka tetap diperlakukan dengan lembut, memaafkannya, sebagai sikap pemakluman, mungkin tidak mengerti atau ketidakpahamannya.
”Tidak dibiarkan, tapi tetap dievaluasi, sebagai pengingat jangan sampai terulang. Mintakan ampun baginya dan bermusyawarah yang baik dengan komunikasi yang sopan dan lembut serta mengedepankan hal positif dan mengabaikan yang negatif,” tuturnya.
Dia menyebut era Muhammadiyah saat ini masuk pada era ketiga. Oleh karenanya diperlukan pola kepemimpinan mampu memobilisasi potensi anggotanya, serta mempunyai jaringan yang kuat dengan berbagai instansi lain.
Penulis Anshori Editor Sugeng Purwanto