UU Tipikor
Ketiga, konsep risywah atau suap-menyuap di negara ini sudah dirumuskan dan disahkan dalam sebuah undang-undang, yang secara politik kenegaraan undang-undang tindak pidana korupsi adalah sebuah fikih bagi masyarakat. Undang-Undang Tipikor bukan hanya dimaksudkan menghukum pelaku korupsi dengan suap menyuap, tetapi juga mencegahnya.
Makanya tidak heran ada ada hukum gratifikasi, memberikan sesuatu (hadiah) yang dicurigai ada hubungannya dengan kebijakan politik. Maka pejabat publik dilarang menerima hadiah Ketika melakukan kunjungan, bahkan ada pembatasan sumbangan Ketika mengadakan hajatan.
Dalam konsep ushul fikih ada kaidah sad al dzariah, yaitu hukum yang mengatur agar kemadharatan lebih besar tidak terjadi. Misalnya dilarang menggali sumur di depan pintu karena berpotensi mencelakakan orang lain. Dalam dunia modern ada aturan dilarang bermain HP Ketika berkendara. Hukum itu dibuat agar tidak menimbulkan kecelakaan. Undang-undang tipikor dibuat untuk mencegah kejahatan korupsi terjadi, di antaranya dengan menghilangkan budaya suap-menyuap. Undang-undang tipikor adalah fikih politik bangsa Indonesia.
Dengan demikian, sebetulnya apa yang disampaikan Gus Baha’ tidaklah salah jika kasusnya mencocoki konteks yang dijelaskan. Namun dalam konteks Indonesia di mana fakta membuktikan bahwa kedzaliman korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja, politisi yang bergelar ustadz, kiai, haji, pada masuk penjara karena korupsi.
Maka badrul mal, atau membeli kebenaran tidak menemukan konteksnya dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Yang sedang berkompetisi bukanlah malainkan dan setan, tetapi sesama anak bangsa yang kadang penilaian kita terhadap seseorang disandra oleh kedunguan informasi, fanatisme buta, bahkan politisasi agama. Ukuran orang itu zalim atau tidak adalah undang-undang, bukan pandangan subjektif.
Karenanya selain memahami konteks politik, kita perlu mengkaji landasan normatifenya. Bahkan menurut Klaled Abou el-Fadhl memahami hukum Islam harus melibatkan hati nurani. Apakah betul bahwa jual beli suara dalam pemilu bukan risywah. Ada beberapa landasan normatif terkait risywah ini.
Baca sambungan di halaman 4: Suap-menyuap dalam Islam