Tak Lagi Mandiri
Zaman dulu orang berjuang di Muhammadiyah itu benar-benar ikhlas. Tidak begitu menghitung seberapa jauh jarak yang ditempuh, seberapa besar biaya yang dikeluarkan, dan seberapa besar waktu yang diluangkan.
Berikut akan saya ceritakan kisah nyata secara rinci untuk menunjukkan betapa besar keikhlasan warga Muhammadiyah zaman dulu.
Dulu di ranting saya, untuk mengadakan kegiatan dananya diperoleh dengan kerja bersama. Jadi, saya dan beberapa teman lain bekerja memanen padi (derep) untuk mengumpulkan dana. Setelah dana terkumpul, semuanya digunakan untuk keperluan organisasi. Tidak ada sedikit pun yang masuk ke kantong.
Sekarang, Muhammadiyah dengan banyak amal usaha Muhammadiyah (AUM)-nya terutama di bidang ekonomi dan orang-orang kayanya, menjadikan warga Muhammadiyah sering bergantung.
“Yah, nanti kalau ada kegiatan ‘kan tinggal minta. Kita ‘kan punya AUM besar dan kita punya banyak orang kaya.” Hal inilah yang membuat warga Muhammadiyah sekarang tidak mandiri.
Ya, boleh saja, sih! Minta bantuan dana, tapi ‘mbok ya’ itu dijadikan alternatif kedua. Ini penting dilakukan karena organisasi ini terlanjur besar dan dianggap mandiri. Masa kita warganya jadi suka berpangku tangan. Meski demikian, memang harus diakui bahwa adanya AUM itu tujuannya untuk menghidupi organisasi ini.
Dulu jargon K.H. Ahmad Dahlan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah!” menjadi kata Mutiara warga Muhammadiyah dan selalu digaungkan atau dilontarkan di setiap acara. Sekarang jargon tersebut dianggap tidak relevan dan bahkan sering dibuat plesetan. “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, baru carilah hidup di Muhammadiyah!”, begitu hasil plesetannya. Miris sekali.
Perbedaan Politik
Rasanya kok berat sekali ya. Saya memang baru berumur 32 tahun. Pengalaman saya di Muhammadiyah belum sebanyak orang-orang terdahulu. Namun, sejak lahir saya sudah Muhammadiyah. Saya ingat betul rasanya waktu itu.
Dulu saya masih usia MI. Pergi ke mana-mana selalu merasa tenang tanpa ada rasa cemas. Seakan hati daya disinari oleh hangatnya sang Surya. Mendekati pemilu pun saya tetap bahagia melihat pendukung partai politik konvoi dengan motor knalpot brong. Saya senang sekali melihatnya.
Tahun politik, waktu itu, menjadi tahun yang menyenangkan bagi warga Muhammadiyah. Karena bisa melihat dan terlibat secara langsung dalam pesta demokrasi itu. Mungkin akibat dari Muhammadiyah yang dari dulu memiliki karakter kuat sebagai organisasi yang tidak terlibat dalam politik praktis.
Namun, sekarang kehangatan itu sudah tidak terasa lagi. Suasananya selalu memanas. Pemandangan yang terlihat setiap harinya tinggal warga yang saling benci, saling mengolok-olok, dan saling mencaci.
Mendapat sedikit info dari Whatsapp group langsung ditelan mentah-mentah. Hasilnya menjadi benci kepada orang yang berbeda pandangan politik. Apa mungkin Muhammadiyah sekarang sudah mulai suka dengan politik praktis? Semoga saja tidak.
Saya adalah satu dari jutaan warga Muhammadiyah yang bangga, yang tenteram, dan yang bahagia menjadi bagian dari Persyarikatan yang tidak mau terlibat dalam politik praktis.
Berambisi Mengejar Status
Beberapa hari yang lalu Kompas memberitakan bahwa beberapa negara maju di Eropa mulai meninggalkan smartphone dan berganti ke model tradisional dalam proses pembelajaran. Salah satu contoh yang sudah memulai ini adalah Swedia.
Di sana pembelajaran dalam kelas yang semula memanfaatkan kecanggihan gadget sebagai media belajar siswa, kini sudah tidak lagi. Seluruh siswa di Swedia dilarang memanfaatkan kecanggihan gadget di sekolah. Semua siswa wajib menulis manual di buku dengan menggunakan pulpen. Guru pun dilarang menggunakan proyektor dan diminta untuk kembali menulis di papan tulis secara manual.
Di Muhammadiyah yang terkenal dengan slogan berkemajuannya, kini terus memanfaatkan kecanggihan teknologi. Bahkan terlihat jor-joran, karena, mungkin dianggap jika tidak memanfaatkan teknologi akan ketinggalan zaman dan status berkemajuannya akan berganti menjadi berkemunduran.
Saya tidak melarang Muhammadiyah selalu terdepan dalam hal teknologi dan kemajuan lainnya yang dianggap menjawab tuntutan zaman. Lagian, siapa juga saya melarang-larang?
Saya suka kok dengan kemajuan Muhammadiyah. Hanya saja, saya mengkhawatirkan jika Muhammadiyah hanya fokus pada kecanggihan teknologi, inovasi teknologi, dan kemajuan teknologi nantinya akan menggeser aspek-aspek kemanusian yang hanya bisa disentuh dengan hati, bukan teknologi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni/Ism