PWMU.CO – Belajar hadits perlu dipahami perbedaan madzhab Saudi, Mesir, India, atau Indonesia karena ada pemahaman yang berbeda.
Demikian disampaikan Dr Zainuddin MZ Lc MA dalam kajian Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Kediri di Rumah Makan Dua Dua Pare, Kamis (21/3/2023).
Zainuddin MZ yang Ketua Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur menjelaskan madzhab Saudi itu seperti Madinah, Makkah, Abha, Riyadh, ternyata beda pemahaman mengaji hadits Indonesia, Mesir, India.
”Dalam pandangan teman-teman di Timur Tengah wabil khusus di Saudi Arabia, definisi hadits itu, apa saja yang dinisbatkan kepada Nabi, berupa ucapan, perbuatan, atau respon sahabat terhadap unggah ungguh Nabi, atau takrir Nabi terhadap sahabat. Karena kaidah yang melekat pada Rasulullah itu al- bayan, penjelas,” katanya tentang belajar hadits.
Dia mencontohkan, kalau ada sahabat yang berbuat sesuatu, perbuatannya itu misalnya tidak benar lantas dilarang oleh Rasul maka kita memahami perbuatan itu jangan dilakukan. Kalau ada teman yang melakukan harus menegur.
”Kalau Rasul diamkan, itu tanda persetujuannya. Termasuk apa yang dinisbatkan kepada Nabi pada sifat kholkiyah maupun khulukiahnya, sehingga kesimpulannya semua yang melekat pada Nabi itu dinamakan tasyrikiyah,” ujarZainuddin yang juga Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits.
Dia menjelaskan, dinamakan tasyrikiyah karena perbuatan syariat, maka nilainya harus universal, berlaku untuk seluruh umat Islam di muka bumi ini.
Dikatakan, Rasulullah itu dipahami sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) dalam segala hal. Maka muncul gerakan ihyaussunnah (perbuatan menghidupkan sunnah).
”Kalau perlu ngguyu, mbokyao ngguyu ala Rasulullah, kalau ingin marah mbok yo marahnya kayak Rasul. Segala yang dinisbatkan ada korelasinya dengan kemantapan hukum. Maka jangan kaget, ngaji hadits di Saudi Arabia berbeda dengan ngaji hadits di Mesir,” tuturnya.
Diceritakan, di Mesir ada hadits tasyrikiyah, ada juga hadits non tasyrikiyah. Hadist tasyrikiyah itu hadits yang berdampak pada syariat, maka nilainya universal, semuanya tidak pandang bulu, tidak pandang bangsa tidak pandang kulit semua sama.
Berbeda kalau hadits itu non tasyrikiyah maka sifatnya lokal. Orang menamakan hadist kultur. Bisa cocok di Saudi, bisa cocok juga di wilayah yang lain.
”Itu problemnya di situ, kenapa sering terjadi perbedaan ketika memahami hadits? Ternyata akibat beda kacamata atau manhajnya atau beda pola pikirnya. Kultur di Arab belum tentu cocok untuk kultur di Indonesia,” ujarnya.
Contoh tradisi bangsa Quraisy kalau bertemu dengan temannya tidak salaman, tapi berpelukan erat sambil menepuk punggung. Masih ditambahi cium jidat temannya.
”Ketika awal perkembangan agama Islam, belum ada tradisi salaman tapi berpelukan itu,” ujar lulusan Ponpes Gontor. ”Salaman waktu itu tradisinya orang Yahudi.”
Dia lalu berkisah berdasar hadits, pada suatu hari Rasulullah mengutus Mu’ad bin Jabbal untuk menjadi wali negeri Yaman. Di luar dugaan dakwah Mu’ad bin Jabbal membawa rombongan besar dari Yaman untuk berbaiat kepada Rasul di bawah pimpinan Abu Musa Al Asy’ari.
”Nah Abu Musa Al Asy’ari ini yang diduga orang yang pertama kali memasyarakatkan tradisi salaman. Begitu bersalaman dibiarkan oleh Rasulullah saw. Bahkan orang yang bersalaman dinilai Rasulullah, sebelum melepaskan tangannya Allah telah mengampuni dosa dosanya,” katanya.
Jadi, sambung dia, tradisi salaman itu impor tradisi dari Yaman. Kebetulan kita dapat Islam dari Yaman, bukan dari Makkah, maka jangan kaget kita lebih mengenal akidah Asy’ariyah karena pencetusnya adalah generasi keenam yang kemudian dikenal teori teologi Al-As’ariy.
Penulis Dahlansae Editor Sugeng Purwanto