Corporate Culture of KIS
Guru dan tenaga kependidikan Korean International School berjumlah 64 orang, di antara mereka berasal dari negara United State American, Rusia, Inggris, China, India dan Korea. Bahasa Inggris yang digunakan mereka dalam berkomunikasi. Performa guru dan karyawan KIS sangat profesional. Terlihat dari gaya berbicaranya, gesture tubuh, pakaian yang digunakan, penguasaan materi pelajaran, dan keterampilan dalam penerapan metode pembelajaran.
Siswa yang belajar di Korean International School sebagian besar berasal dari Korea, Rusia, Turki, Amerika, Jepang, India, Hongkong, Eropa dan sebagian kecil dari Asea Tenggara. Mereka anak para ekspatriat yang orang tuanya bertugas di Shenzen Guangdong dan sekitarnya. Keragaman bahasa dan budaya dari asal negara siswa dapat disatukan dalam “corporate culture of KIS”.
Mata pelajaran yang diberikan KIS kepada siswa terdiri dari; Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris, Sosiologi, Kesenian, Olah Raga dan Kesehatan. Mata pelajaran agama, sebagaimana di China, Jepang dan Korea, tidak mendapatkan porsi di lembaga pendidikan formal. Negara tidak mencampuri urusan agama peserta didik.
Di Korean International School agama menjadi urusan yang sangat privasi, pribadi dan keluarga. KIS tidak memasukkan pendidikan agama pada kurikulum sekolah. Demikian pula sekolah tidak memfasilitasi kegiatan keagamaan siswa; seperti peringatan hari besar agama. Termasuk tidak pula menyediakan tempat ibadah.
Hal yang sangat menginspirasi, ketika Mr. Joseph mengajak saya untuk melihat proses pembelajaran di ruang kelas. Siswa kelas satu elementary school KIS, sudah menggunakan pendekatan pembelajaran Science, Technology, Engineering, Art, and Math (STEAM). Saya lihat Miss Deborah, guru yang berasal dari Rusia, begitu menikmati saat mengajar.
Siswa yang berada pada usia tujuh tahun, begitu riang dan aktif belajar materi tentang Tata Surya. Dengan media pembelajaran yang sederhana dengan bahan terbuat dari karton, kertas, gambar, penggaris, spidol warna, gunting dan alat hitung, proses pembelajaran saat itu berlangsung menarik dan menyenangkan.
Sejak dini siswa belajar menemukan masalah dan belajar pula untuk memecahkan masalah. Cara belajar seperti ini, termasuk diantara empat keterampilan yang diperlukan pada abad ke-21 yang popular dengan sebutan 4C (creativity, communication, collaboration and critical thinking). Sebagai guru, Miss Deborah lebih banyak berperan sebagai fasilitator bukan sebagai penceramah sebagaimana guru Indonesia pada umumnya.
Baca sambungan di halaman 2: Fokus Masuk PTN