Sejengkal Tanah yang Membahayakan di Akhirat; Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ حَدَّثَهُ وَكَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمِهِ خُصُومَةٌ فِي أَرْضٍ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهَا فَقَالَتْ يَا أَبَا سَلَمَةَ اجْتَنِبْ الْأَرْضَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ. رواه أحمد
Dari Muhammad ibn Ibrahim bahwa Abu Salamah, telah menceritakan kepadanya, hal mana antara dirinya dan kaumnya sedang terjadi persengketaan mengenai masalah tanah. Lalu ia menemui Aisyah dan menceritakan hal itu kepadanya maka ia menjawab, “Wahai Abu Salamah, jauhilah tanah tersebut, karena Rasulullah ﷺ pernah bersabda, ‘Barang siapa yang menzalimi dengan sejengkal tanah saja, maka akan ditimpakan kepadanya dari tujuh bumi.'” HR. Ahmad
Mengalah Lebih Baik
Persoalan tanah atau batas tanah seringkali terjadi perselisihan antara pihak. Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa dalam hal ini sebaiknya mengalah saja, dan yakinlah bahwa semua bentuk kezaliman pasti akan dinampakkan oleh Allah di Hari Akhir dan akan diberikan balasan dengan balasan yang sangat berat. Oleh karena itu mengalah dalam hal ini lebih baik sebagaimana isyarat dalam hadits di atas.
Makna sejengkal tanah bukanlah bermakna banyak atau luas, tetapi bermakna sedikit saja, akan tetapi walaupun hanya dengan sejengkal saja akibatnya sangat memberatkan balasan nantinya di Hari Akhir, apalagi jika lebih banyak dari itu. Hal ini sebagai peringatan keras bagi umat beliau agar tidak melalukan perampasan atau ghasab masalah tanah sedikit pun.
Hadits di atas merupakan kabar dari seorang Tabi’i yang bernama Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf yang sedang memiliki masalah tanah dengan kaumnya, kemudian beliau berkonsultasi kepada Ummul Mukminin Ibunda Aisyah Radliyallahu ‘anha. Selanjutnya Ibunda Aisyah menyarankan untuk mengalah karena itu lebih baik untuk akibat di akhirat kelak.
Hak Milik Allah
لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗ
Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Al Baqarah 284
Hak milik semua yang ada ini hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan kita hamba-Nya hanyalah memiliki hak pakai semata. Apa saja yang ada di dunia ini milik Allah, termasuk diri kita, tubuh atau jasad ini yang terdiri dari bertrilun sel yang hidup dan bergerak, adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu apa yang diamanahkan oleh Allah kepada kita hendaknya kita jaga dan pelihara sesuai dengan ketentuan-Nya.
Bumi atau tanah yang ada dalam kekuasaan kita hakikatnya juga bukan kita yang memilikinya, sekalipun sudah terbit SHM atau Surat Hak Milik. Hakikatnya semua kita memegang HGM dari Allah yaitu Hak Guna Manfaat saja. Maka tidak seyogyanya seorang hamba menjadi serakah akan kepemilikan tanah dan kemudian bangga dengan kepemilikiannya itu. Amanah itu pasti akan dimintai pertanggung jawabannya.
Bagi orang yang beriman tidaklah kebanggaannya itu ketika ia memiliki asset lahan atau tanah atau rumah yang banyak di beberapa tempat, dan tidak peduli bagaimana ia mendapatkannya, yang penting ia bangga dengan semua itu. Padahal kebanggaannya itu hanyalah kesemuan belaka dan ia pasti suatu saat akan binasa. Kemudian semua kekayaannya itu akan menjadi hak bagi ahli warisnya. Sangat disayangkan kemudian jika dengan peninggalan warisan itu justru menjadikan mereka tidak lagi dapat bersaudara dengan baik. Ada yang merasa menang-menangan yang berakibat adanya kezaliman di antara mereka.
Baca sambungan di halaman 2: Segerakanlah!