Terbuka Kesempatan Perempuan Berpolitik
Prof Zuhro menerangkan, Sejak pemilu legislatif 2004, sudah dibuka kuota 30 persen calon legislatif perempuan dari setiap partai politik peserta pemilu. Namun, hingga saat ini baru terpenuhi sekitar 20 persen. Salah satu penyebabnya adalah perempuan yang telah memiliki hak pilih, ternyata mayoritas tidak memilih sesama perempuan.
Tidak dimungkiri, caleg perempuan bermunculan, namun masyarakat, bahkan kaum perempuan sendiri, menganggapnya hanya sebagai figuran. Maka, agar keberadaannya tidak dianggap remeh, caleg perempuan harus berstrategi dengan baik. Salah satunya dengan mengaurakan kejujuran, menggunakan intuisi untuk melihat dapil.
“Kebaikan sebagai pribadi yang keibuan harus ditunjukkan. Kritis, tapi beretika. Harus tegar. Satu lagi, jangan mudah tersinggung,” kata Prof Zuhro.
Selain itu, kata dia, caleg perempuan harus memahami ketatanegaraan, undang-undang parpol, bahkan idealnya, kebijakan negara pada tiap periode harus dikuasai dengan baik.
“Caleg perlu memahami sejarah Indonesia. Apa kiprah perempuan di tiap periode sejarah itu, penambahannya seperti apa, itu semua juga harus dipelajari. Apalagi caleg yang berasal dari kader Aisyiyah, harus menjual inner beauty,” imbuhnya.
Lima Tantangan Perempuan dalam Berpolitik
Prof Zuhro mengatakan, ada lima faktor yang menjadi tantangan perempuan dalam berpolitik.
- Budaya patriarki, yaitu adanya persepsi tentang politik untuk laki-laki.
- Dukungan terhadap kaum perempuan melalui seleksi yang didominasi laki-laki.
- Peran media dalam membangun opini publik dan tentang pentingnya representasi perempuan dalam parlemen.
- Kurangnya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partai-partai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan.
- Kurangnya kesempatan perempuan untuk mendapat kedudukan yang setara dengan laki-laki.
Guna menghadapi lima tantangan tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan.
- Kelompok perempuan harus membangun kekuatan politik dengan menyusun strategi baik melalui pengaturan dalam UU maupun melalui jejaring (networking) yang ada.
- Sistem proporsional terbuka dalam pemilu dengan suara terbanyak harus ramah terhadap perempuan, dan tidak boleh menghambat kontestasi secara berkualitas.
- Perempuan harus pro-aktif dan elegan dalam mendekati elite partai politik.
- Perempuan harus berjuang meningkatkan usaha dan melakukan gerakan untuk membangun komunitas perempuan untuk memajukan mereka dalam politik.
- Perempuan juga perlu memperjuangkan kuota keterwakilannya mulai dari tahapan rekrutmen calon legislatif sampai ke penetapan hasil pemilihan.
- Kaum perempuan tidak boleh pasif, mereka harus aktif, baik perempuan yang ada di desa maupun di kota bisa saling bekerja sama, bahu-membahu memperjuangkan kemajuan bersama.
- Kaum perempuan yang telah berhasil (baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dan dunia usaha, intelektual, tokoh masyarakat) perlu bahu-membahu dan bersatu padu untuk mendorong kemajuan kaum perempuan dan meningkatkan perannya dalam politik.
Menyangkut aksi ke depan, menurut Prof Zuhro, pengawalan caleg perempuan dari Jatim harus dilanjutkan. Ketika turun langsung, harus didampingi. Aisyiyah harus mengawal perempuan Persyarikatan hingga berlaga.
“Harus ada pendataan konkret oleh Aisyiyah terhadap semua caleg perempuan di Jatim, diaspora kader Persyarikatan ke berbagai parpol harus terbaca. Tidak perlu membedakan partai, karena pengikatnya adalah Persyarikatan,” kata dia.
Di akhir paparannya, Prof Zuhro menggarisbawahi bahwa kekuatan perempuan terletak pada fitrahnya sebagai ibu dengan integritas dan kejujurannya dalam mengemban amanah. (*)
Penulis Khoen Eka Anthy Editor Mohammad Nurfatoni