Landasan Politik Kebangsaan Muhammadiyah
Ijtihad politik Muhammadiyah itu memiliki landasan yang kokoh, lanjut Haedar. Pertama, dalam Islam tidak ada sistem dan bentuk perjuangan politik yang tunggal serta absolut, semuanya merupakan pilihan ijtihad sejak era Kekhalifahan Utama sampai selanjutnya dan saat ini.
Kedua, dunia Islam pun sampai saat ini memiliki ragam sistem politik yang berbeda, meski dasar dan pemikirannya bersumbu pada Islam.
Ketiga, Muhammadiyah sejak awal menetapkan jalan non-politik praktis, juga merasakan dampak negatif dari pelibatan diri dalam kancah politik praktis yang membuat dakwah dan gerakannya terbengkalai. Bacalah sebab lahirnya Kepribadian Muhammadiyah, serta seiring dengan itu Muhammadiyah melahirkan sejumlah Khittah.
“Karenanya para anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah merujuklah pada pemikiran-pemikiran resmi organisasi seperti Khittah dan Kepribadian dalam membawa arah Muhammadiyah, bukan berdasarkan pandangan dan selera pribadi-pribadi,” tegas Haedar.
Ketua Umum tentu menghayati posisi Muhammadiyah karena selain terlibat dalam dinamika gerakan sejak IPM dan kemudian pimpinan Muhammadiyah, juga terlibat langsung dan menjadi koordinator perumusan pemikiran-pemikiran resmi Muhammadiyah seperti Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) tahun 2000, Khittah Denpasar 2002, Dakwah Kultural tahun 2002, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa tahun 2009, Pernyataan Pikiran Muhammadiya Abad Kedua tahun 2010, Indonesia Berkemajuan tahun 2015, Dakwah Komunitas tahun 2015, dan Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah tahun 2015 dalam Muktamar di Makassar.
Tapi dengan Khittah, ujar Haedar, Muhammadiyah tidak anti politik praktis. Muhammadiyah mendorong para anggota dan kadernya untuk aktif ke partai politik selain di lembaga pemerintahan, dan lembaga strategis lainnya. Ketua Umum dalam beberapa tahun terakhir bahkan sering mendorong para kadernya untuk berkiprah di eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga strategis lainnya dengan modal kemampuan, integritas, dan visi kemuhammadiyahan yang baik. Muhammadiyah juga memandang positif fungsi dan perjuangan politik praktis, serta sering berkomunikasi dengan jajaran partai politik.
“Silakan hayati dan baca secara utuh Khittah Denpasar 2002, semuanya ada jalannya masing-masing”, ujarnya.
Memang juga ada larangan rangkap jabatan tertentu, hal itu penting sebagai koridor agar semuanya tidak bebas, sekaligus ada sejumlah rukhsah atau kebolehan.
“Memang politik itu tidak sederhana, sebagaimana urusan muamalah lainnya”, kata Haedar.
Haedar juga menjelaskan bahwa Politik tidak seperti sebuah sebidang tanah yang dengan mudah digaris secara formal. Selalu banyak dinamika dalam dunia politik. Tetapi, melalui Khittah dan kebijakan organisasi ada garis koridor, mekanisme, dan sistem yang jelas sebagai patokan utama dalam membawa Muhammadiyah dalam kehidupan kebangsaan secara umum maupun dalam menghadapi situasi politik praktis seperti Pemilu 2024.
“Ikutilah ketentuan-ketentuan organisasi tersebut agar Muhammadiyah tidak terbawa arus situasi”, tegasnya.
Terakhir, Haedar berpesan jangan membawa kehendak sendiri-sendiri dalam bermuhammadiyah, termasuk dalam menghadapi situasi politik lima tahunan. Kalau tidak paham posisi organisasi dan situasi secara komprehensif, sebaiknya kader Muhammadiyah belajar seksama agar tidak gagal paham.
“Bila berdasar kemauan dan persepsi pribadi, apalagi bersifat parsial dan tendensius, hilanglah eksistensi organisasi yang besar ini,” tutup Haedar. (*)
Penulis Adam Editor Mohammad Nurfatoni