Ciri Spiritualitas Generasi Milenial
Karakteristik dan identitas generasi milenial banyak dipersepsikan, seperti manusia menyenangkan (tidak suka yang serius-serius), manusia pengembara (hidup numpang lewat, tanpa komitmen pada kebangsaan, agama, organisasi), manusia pelancong (pencari kebaruan, gampang bosan, suka berpindah-pindah), dan manusia konsumen (cari enak, tanpa risiko).
Setidaknya beberapa kecenderungan corak spiritualitas dan moral generasi milenial yang jika tidak diantisipasi akan menjadi problem besar bagi Muhammadiyah.
Pertama, spiritual but not (organized) religion (menjadi spiritual, tetapi tanpa beragama yang formal dan terikat, termasuk bergabung berorganisasi keagamaan).
Ini tentu menjadi tantangan serius dakwah Muhammadiyah. Hal ini karena Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang rapi, rigit, dan kaku, sedangkan generasi milenial tidak begitu nyaman terikat dan formalistik. Tantangannya, bisakah Muhammadiyah mengubah dirinya dari yang tampil sebagai organisasi formal menjadi wajah yang kultural dan lebih informal?
Kedua, beragama dan berspiritual itu “consuming” spiritual & religious products, rather than “belonging” to certain religious tradition. Jadi beragama itu “mengonsumsi” produk-produk spiritual dan keagamaan, daripada “menjadi bagian” dari tradisi keagamaan tertentu.
“Menjadi Muhammadiyah secara spiritual, ibadah, dan akhlak lebih utama daripada menjadi Muhammadiyah secara formal yang dibuktikan dengan KTA”
Tampaknya kita sulit mengikat generasi milenial secara organisasi dengan pendekatan struktural. Tantangannya, bisakah Muhammadiyah memproduksi dan menyebarkan secara massif produk-produk keagamannya, sehingga disukai, dipakai, dan dijadikan pedoman generasi milenial dalam beragama tanpa menjadi Muhammadiyah secara formal? Artinya, mereka menjadi Muhammadiyah cukup secara kultural.
Ketiga, being religious, bukan sekadar having religion. Beragama generasi milenial itu menjadi relijius (secara kultur-etis ) bukan sekadar memiliki agama (secara formalistik).
Dalam kaitan Muhammadiyah, menjadi Muhammadiyah secara spiritual, ibadah, dan akhlak lebih utama daripada menjadi Muhammadiyah secara formal yang dibuktikan dengan Kartu Anggota Muhammadiyah atau menjadipimpinan resmi Muhammadiyah.
Bagi siapa saja, penguasa, pebisnis, dan pendakwah, penting untuk mengenali karakteristik generasi baru ini. Lebih dari itu, mengenali spiritualitas milenial menjadi penting bagi pendakwah dan organisasi dakwah seperti Muhammadiyah yang lebih menonjol karakter organisasinya daripada sebagai kultur.
Jika Muhammadiyah tidak menggarap generasi baru ini, maka tidak sedikit mereka yang akan mengedepankan orientasi spiritual yang bersifat “lintas” yang jika dibiarkan lepas akan cenderung “anti-agama: dalam makna organisasi agama formal” atau mereka memilih “spiritualitas tanpa agama”.
Konsekuensi dari sikap tersebut adalah hibridasi identitas (hybridation of identity), yakni “persilangan” afiliasi dan orientasi keagamaan yang melahirkan identitas baru yang bercampur budaya, tradisi, dan nilai yang berbeda. Latar belang keluarga, organisasi, dan komunitas yang tidak linear menjadikan generasi milenial lebih “akomodatif” terhadap nilai-nilai baru.
Bisa jadi mereka secara formal tidak ingin menjadi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, atau organisasi yang mengikat lainnya. Akan tetapi, mereka ideologi dan cara beragamanya campur-campur, dalam hal ibadah ada yang mengikuti Muhammadiyah, dalam ajaran lain bisa merujuk ajaran agama dari kelompok lain.
Baca sambungan di halaman 3: 4 Respons Muhammadiyah untuk Milenial