Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang.
PWMU.CO – Di lingkup sebagian elit dan warga Nahdliyin, era Orde Baru sering disebutnya sebagai era kegelapan politik. Posisi politik NU dimarjinalkan begitu rupa. Sebaliknya, Muhammadiyah selalu sering dituduh dan dikampinghitamkan sebagai ormas Islam yang paling diuntungkan.
Padahal, faktanya, dari penelusuran atas data-data politik, justru posisi politik NU tetap lebih beruntung bila dibandingkan dengan posisi politik Muhammadiyah. Data-data politik berikut ini setidaknya membantah anggapan bahwa NU dimarjinalkan secara politik di era Orde Baru dan sebaliknya, Muhammadiyah begitu diuntungkan.
(Baca: Indonesia, Negeri Muslim Katanya)
Di era Orde Baru, politisi NU masih mendapat kepercayaan menduduki jabatan-jabatan politik dan strategis. Misalnya, melanjutkan jabatannya di era Kabinet Ampera I, KH Idham Chalid masih dipercaya menjabat kembali sebagai Menteri Utama Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Ampera II (1967-1968).
Pada Kabinet Pembangunan I (1968-1973) kembali KH Idham Chalid diberi kepercayaan duduk dalam kabinet dengan naik status menjadi Menko Kesra sekaligus merangkap Menteri Sosial. KH Idham Chalid juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR RI Periode 1972-1977. Sebelumnya, KH Ahmad Syaichu juga pernah menjabat sebagai Ketua DPR RI Periode 1966-1971.
Sebaliknya Muhammadiyah tak pernah mencicipi jabatan di tingkat parlemen maupun menteri. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang kerap diidentikan dengan Muhammadiyah misalnya selama Orde Baru tak pernah satu pun dijabat oleh kader Muhammadiyah. Sebagaimana menjadi watak dasar rezim Orde Baru yang cenderung anti-Islam, maka untuk jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selalu diisi oleh orang-orang yang dekat dengan Presiden Soeharto dan hampir dipastikan bukan berasal dari kelompok Islam.
(Baca juga: “NKRI Harga Mati”: Jargon yang Absurd?)
Berikut adalah nama-nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru: Mashuri Saleh (Kabinet Pembangunan I, 1968-1973), Sumantri Brodjonegoro (Kabinet Pembangunan II, Maret 1973-Desember 1973), Syarief Thajeb (Kabinet Pembangunan II, 1974-1978), Daoed Joesoef (Kabinet Pembangunan III, 1978-1983), Nugroho Notosusanto (Kabinet Pembangunan IV, 1983-1985), Fuad Hasan (Kabinet Pembangunan IV, 1985-1988 dan Kabinet Pembangunan V, 1988-1993), Wardiman Djojonegoro (Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998), Wiranto Arismunandar (Kabinet Pembangunan VII, Maret 1998-Mei 1998).
Begitu pun jabatan Menteri Agama yang juga sering dikaitkan dengan Muhammadiyah. Selama kepemimpinan Presiden Soeharto tak pernah sekalipun dijabat oleh kader atau orang Muhammadiyah. Sebaliknya, justru wakil dari NU pernah menjabat sebagai Menteri Agama, yaitu KH Mohammad Dahlan yang menjabat di era Kabinet Ampera II (1967-1968) dan dilanjutkan di era Kebinet Pembangunan I, 1968-1971). Selanjutnya jabatan Menteri Agama dijabat oleh Abdul Mukti Ali (Kabinet Pembangunan I, 1971-1973, Kabinet Pembangunan II, 1973-1978), Alamsyah Ratu Prawiranegara (Kabinet Pembangunan III, 1978-1983), Munawir Sjadzali (Kabinet Pembangunan IV, 1983-1988, Kabinet Pembangunan V 1988-1993), Tarmidzi Taher (Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998), Quraisy Shihab (Kabinet Pembangunan VII, Maret 1998-Mei 1998).
(Baca juga:Kontroversi Masjid Raya Daan Mogot: Itukah yang Dimaksud Dhirar?)
Dua nama Menteri Agama, yaitu Abdul Mukti Ali dan Tarmidzi Taher sering dikaitkan dengan Muhammadiyah. Padahal keduanya tak mempunyai irisan apapun dengan Muhammadiyah. Mukti Ali lebih dikenal sebagai wakil Golkar. Sementara Tarmidzi Taher lebih dikenal sebagai militer. Bahwa di kemudian hari selepas tak lagi menjabat Menteri Agama, Tarmidzi Taher lebih memilih aktif di Muhammadiyah, bagi saya itu soal pilihan saja yang mungkin dinilai lebih tepat. Kalau sejak awal sebelum menjabat Menteri Agama, Tarmidzi Taher teridentifikasi sebagai orang Muhammadiyah bisa jadi malah tidak akan pernah terpilih menjadi menteri.
Jadi fakta dan data di atas, sekali lagi menunjukkan bahwa secara politik di era Orde Baru pun, NU lebih diuntungkan dibanding Muhammadiyah. Ada juga tuduhan di kalangan elit dan warga Nahdliyin yang mengatakan bahwa katanya di era Orde Baru banyak jabatan di daerah, terutama di lingkup Departemen Agama yang dapat dengan mudah dijabat oleh kader-kader Muhammadiyah. Saya memang tidak mempunyai data yang lengkap terkait hal ini.
Namun atas bincang-bincang dengan beberapa orang sepuh di Muhammadiyah, gugatan tersebut juga dinilai ngawur dan berangkat dari perspektif yang ngawur pula, pokoknya di luar NU itu berarti Muhammadiyah. Sehingga kalau Kakanwil atau Kakandepag bukan berasal dari NU berarti pasti berasal dari Muhammadiyah. Padahal bisa jadi berasal dari kelompok Islam lainnya di luar Muhammadiyah dan NU. Bisa jadi dari MDI, MUI atau kelompok Islam yang dinilai bisa diajak seirama dengan rezim Soeharto.
(Baca juga: Ketulusan KH Hasyim Muzadi dalam Menjalin Hubungan dengan Muhammadiyah)
Jawaban yang lebih proporsional adalah bahwa di era Orde Baru secara proporsional, Muhammadiyah lebih atau masih memungkinkan berkesempatan untuk menjadi Kakanwil Depag atau Kakandepag. Bandingkan dengan era Reformasi, betapa sulitnya kader Muhammadiyah untuk menjadi Kakanwil Depag dan Kakandepag. Seakan Kemenerian Agama itu benar-benar kaplingnya NU.
Kelompok di luar NU jangan berharap bisa menduduki jabatan-jabatan strategis di Kementerian Agama. Benar-benar terjadi NUisasi secara kurang beradab di Kementerian Agama. Bandingkan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang masih sempat beberapa kali dijabat oleh kader Muhammadiyah. Rasanya tak pernah terdengar ketika menterinya berasal dari Muhammadiyah lalu terjadi Muhammadiyaisasi.
(Baca juga: Wacana Pemisahan Agama dan Politik adalah Pelecehan Pancasila)
Tanyakan juga kepada kader-kader Muhammadiyah yang pernah menjabat Mendikbud, seperti Malik Fadjar, Yahya Muhaimin, Bambang Sudibyo, termasuk Anies Baswedan yang sering dikaitkan dengan Muhammadiyah karena kakeknya memang Muhammadiyah dan Muhadjir Effendy, kira-kira Muhammadiyah atau NU yang paling sering minta sumbangan dan disumbang? Tanyakan saja, toh tokoh-tokohnya masih hidup semua.
Kalau Kementerian Agama tidak usah ditanya soal siapa yang paling sering minta sumbangan dan disumbang, Muhammadiyah atau NU. Karena pasti jawabnya NU! Kalau tidak percaya, tanyakan saja ke beberapa mantan Menteri Agama era Reformasi yang masih hidup, seperti Malik Fadjar (Muhammadiyah, Kabinet Reformasi Pembangunan era Presiden BJ. Habibie, 1998-1999), M. Tholhah Hasan (NU, Kabinet Pembangunan Nasional, 1999-2001), Sayyid Agil Husein al-Munawar (NU, Kabinet Gotong Royong, 2001-2004), Surya Dharma Ali (NU, Kabinet Indonesia Bersatu, 2009-Mei 2014), Lukman Hakim Saifuddin (NU, Kabinet Indonesia Bersatu, Juni 2014-Oktober 2014, Kabinet Kerja 2014-sekarang). (*)
Baca Selengkapnya:
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (1): Dituduh Kenyang di Era Orde Baru
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (2): Diidentikkan Masyumi dan Dituding Memarjinalkan NU
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (3): Dianggap Ingin Kuasai Jabatan Menteri Agama, Faktanya?
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (4): Tak Mau Menjilat Soekarno meski Dia Warga Persyarikatan
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (5): Katanya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jatahnya, padahal …
- Kesalahpahaman pada Muhammadiyah (6): Dari Tudingan Memakzulkan Gus Dur hingga Diremehkan SBY