PWMU.CO – Muhammadiyah perlu memperbanyak pengawal misi politik di parlemen dan mengakhiri status yatim piatu di parlemen.
Hal itu ditegaskan anggota DPR RI Prof Dr Zainuddin Maliki MSi pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (29/9/2023).
Zainuddin mengatakan, cukup di semua cabang politik yakni di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tapi khusus di parlemen, pada pemilu 2024 dia sangat berharap Rakernas ada keputusan yang membuat Muhammadiyah terukur untuk bisa menambah jumlah kursi DPR RI Tahun 2024 nanti.
“Prof Haedar pernah mengevaluasi keberhasilan saya di Gresik-Lamongan. Ada tiga hal yang membuat saya terpilih. Pertama, seluruh struktur Muhammadiyah bergerak. Kedua, saya mencalonkan di Dapil yang kepala Muhammadiyah itu cukup untuk mendapatkan kursi. Ketiga, karena personality saya dianggap diterima di Lamongan dan Gresik,” katanya.
Dia menceritakan, personality itu dibuktikan dengan pernah menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) selama 2 periode, lalu di Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur 2 periode, kemudian banyak berinvestasi sosial di situ.
“Jadi menurut saya, di daerah lain, di manapun kalau di Dapil itu cukup kepala Muhammadiyah untuk mendapatkan kursi, kemudian struktur bergerak semua, lalu ada personality yang mudah diterima, saya kira akan dapat,” ucapnya.
Muhammadiyah Harus Berserikat
Prof Zainuddin mengatakan, kalau jumlah kepala Muhammadiyah tidak cukup, tetapi punya personality yang bisa diterima oleh masyarakat yang bukan Muhammadiyah, menurutnya itu bagus juga. Contohnya Ketua DPRD PKB dari Palangakaraya Kalimantan Tengah (yang merupakan kader Muhammadiyah), termasuk juga ada Golkar.
“Intinya, rumusnya adalah kalau kita ingin terukur mendapatkan kursi, ya rumusnya berserikat. Muhammadiyah harus berserikat. Tidak bisa berkerumun di satu Dapil. Kalau berkerumun di satu tempat, tentu buka lapak sendiri-sendiri. Tapi kalau berserikat, berarti berhimpun dengan satu tujuan yang sama,” ucapnya.
Anggota Komisi X DPR RI ini mengaku tidak menolak diaspora. Dia setuju dengan diaspora, tetapi harus diaspora yang terukur. Artinya jangan sampai terjadi satu ideologi, tetapi ada 2 apalagi 3 partai di satu Daerah Pemilihan (Dapil).
“Contohnya yang akan saya hadapi di 2024 nanti. Ada 1 ideologi di 3 partai. Ada Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Ummat dan Partai Golkar. Padahal jumlah kepala Muhammadiyah sudah bisa dihitung,” ucapnya.
Dia menceritakan, pada tahun 2019, waktu itu Muhammadiyah memberikan suara untuk DPD 1. Sementara DPR terpecah, dan dari situ bisa dihitung, suara DPD itulah suara Muhammadiyah, yang saat itu memperoleh suara 120 ribu.
“Sedangkan saya terpilih 2019 di kursi terakhir dengan perolehan suara 128 ribu. Itu artinya, suara Muhammadiyah hanya cukup untuk 1 kursi. Lha kalau ini mau dibagi menjadi 3 partai. Pertanyaannya, Muhammadiyah masih mau punya kursi DPR tidak? Kalau tidak bisa diselesaikan dan dinegosiasinya ya sudah,” ucapnya.
Sehingga di memberikan rumus, kalau 1 Dapil, 1 ideologi lalu ada 2 apalagi 3 partai, maka hasilnya mustahil. Dia pun memberikan contoh, di Dapil Jatim X yakni Gresik-Lamongan, suara terbanyak partai pemenang terbesar adalah PKB yang mendapat kursi nomor 1. Untuk bisa dapat kursi kedua, dibagi 3 itu 110, dan masih di bawah suara PAN.
“Artinya apa? NU yang mayoritas di situ saja tidak bisa mendapatkan 2 kursi. Nah Muhammadiyah bermimpi dapat 2 kursi dari 2 partai. Gak mungkin. Mustahil. Mustahil,” jelasnya yang langsung mendapatkan tepuk tangan peserta Rakernas.
Mengkapitalisasi Kehebatan Muhammadiyah
Zainuddin menegaskan, intinya kita ini harus bisa mengkapitalisasi kehebatan Muhammadiyah yang diakui dunia, sehingga kemudian menjadi political reference, ketika kita harus melakukan lobi-lobi politik.
“Kalau kita ini besar, tetapi ketika melakukan lobi politik itu ternyata tidak diperhitungkan, itu sungguh kita harus evaluasi bersama,” tandasnya.
Dia juga menceritakan, berdasarkan kajian semiotik, di senayan itu hanya PAN yang masih menutup pembicaraan dengan istilah billahi taufiq wal hidayah, sementara yang lainnya menggunakan wallahul muwafiq ilaa aqwamit thariq.
“Ada yang tidak suka dengan survei Denny JA, tapi saya merasakan di Senayan. Yang namanya Yasonna Laoly, itu Katolik tapi menutup pembicaraan pakai wallahul muwafiq dengan fasih. Sri Mulyani saat paripurna DPR menutup rapat juga memakai wallahul muwafiq ilaa aqwamit thariq. Jadi kata Denny JA mereka yang mengaku bangga menjadi NU itu naik, menurut saya ini salah satu indikatornya,” kata Zainuddin.
Sementara berdasarkan survei Denny JA juga, yang mengaku bangga menjadi Muhammadiyah hasilnya turun.
“Kalau saya bilang ini turun, jangan dibilang saya sudah tidak senang dengan Muhammadiyah. Saya senang, saya bangga. Tapi realita di Senayan ini ingin saya sampaikan kepada pimpinan-pimpinan di Muhammadiyah, bahwa kita itu sedang dalam posisi di jurang,” tegas Zainuddin.
Tangani Perizinan RSM Babat
Dia menuturkan, pentingnya politik juga dirasakan saat menangani permasalahan Rumah Sakit Muhammadiyah Babat Lamongan. Gedung RS sudah jadi mentereng, 1 tahun sudah memberi gaji dokter maupun karyawan tapi belum bisa menerima pasien. Alasan pemerintah ada saja. Katanya kurang ini kurang itu. Bed-nya katanya harus 100 ini masih 60, sehingga ada saja alasan.
“Akhirnya saya dipanggil. Pak Zainuddin sampean ini kan DPRnya Muhammadiyah, tugas sampean yang menyelesaikan. Untung saya punya kawan Saleh Daulay. Saya bilang, Mas Saleh, kasih marah itu Menteri Kesehatan. Muhammadiyah kurang baik apa? Negara ini dipinjami, diberi pinjaman. Bukan Muhammadiyah pinjam pada negara,” ceritanya.
“Negara yang pinjam pada Muhammadiyah BPJS 1,2 triliunan. Muhammadiyah gak nagih-nagih, lha kok ini minta turun izin saja selalu ada alasan. Terakhir alasan karena menteri baru sehingga masih belum memutuskan kebijakan baru. Akhirnya bukan hanya izin yang turun, tapi BPJS 1,2 triliunan dicicil,” imbuhnya disambut tawa hadirin.
Muhammadiyah Perlu Beritakan Kebaikan
Zainuddin juga mengatakan, bahwa di politik itu beda dengan di Muhammadiyah. Kalau di Muhammadiyah itu hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah, tapi di politik tidak.
“Di politik itu who get what? Siapa mendapatkan apa? Kalau gak dapat? Ya pindah partai. Di partai baru hukumnya masih sama begitu juga. Di Muhammadiyah kita diajarkan tangan kanan memberi, tangan kanan tidak boleh tahu. Di politik tidak bisa. Di politik tangan kanan ngasih, jangankan tangan kiri, depan belakang pun harus tahu itu,” paparnya kembali disambut tawa peserta Rakernas.
Alumnus Doktor Ilmu Sosial, Universitas Airlangga (2002) ini mengatakan, Prof Haedar pernah menyampaikan bahwa Muhammadiyah itu besar, tapi menurutnya hal itu tidak diinformasikan kepada orang. Sehingga orang lain tidak menghitung.
“Di politik itu harus diberitahukan. Ini lho kekuatan kita, ini lho yang sudah kita berikan pada negara, dan itu harus kita kapitalisasi supaya kita dihitung. Sekarang kita tidak dihitung. Pinjam lapangan untuk sholat id saja dipersulit,” tuturnya.
“Gimana? kita setuju mengakhiri masa yatim piatu di politik? Kalau setuju, ayo Rakernas ini dirumuskan, dan itu nanti harus dioperasionalkan sampai bawah. Kalau tidak, ya sudah yatim berkepanjangan,” ujarnya.
Terakhir, Zainuddin menggelorakan semangat peserta Rakernas dengan yel yel.
Islam….. agamaku
Muhammadiyah……. gerakan ku
LHKP …….. semangatku (*)
Penulis Nely Izzatul