Seperti Mau Perang
Perlu saya sampaikan bahwa suasana muktamar, terasa seperti pemanasan mau perang, ayat Asyidda”u ‘ala al-kuffar, ruhama”u baynahum, berulangkali dibacakan. Ini bisa dipahami karena negeri para mullah ini, sampai sekarang masih diembargo oleh USA dan kroni-kroninya. Sekalipun diembargo, negara ini tetap hebat bahkan memiliki pusat pengolahan nuklir, baik for peace maupun for war. Bahkan juga bisa memproduksi mobil segala.
Masih tentang suasana muktamar, pembawa acara sering melantunkan ayat-ayat al-Quran dengan amat merdu dan mengakhiri setiap memberi kesempatan tampil dengan ucapan fatafadldlal …. masykuran, bidzikr Muhammad wa alih. Lalu serentak diucapkan shalawat untuk Nabi SAW dan keluarganya oleh para hadirin, terutama yang berasal dari Iran sendiri.
Soal banyak bershalawat, amat hormat sama Mullah, termasuk ziarah ke kuburan, tampaknya mirip dengan yang dipraktikkan oleh saudara Nahdliyyin kita. Terasa juga sikap warga Iran yang amat humble, seperti juga orang Sudan, menjadikan saya betah bersama mereka.
Di hari terakhir, bersama Sekjen Kemenag, saya dapat undangan makan malam dari Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Iran Ronny Prasetiyo Yuliantoro, yang berasal dari Malang, di restoran Cina. Ternyata hidangannya rasa Cina Iran, dan tidak ada juga yang berwajah Cina di restoran ini, tetap rupa Persian, postur besar dan ganteng amat. Duta besar karier, sebelumnya pernah bertugas di Tunisia, pernah bertemu dengan Ketum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir, MSi, bahkan titip salam untuk beliau.
Lalu soal pandangan minor terhadap Syiah, yang ditampakkan oleh banyak pihak: mencela para shahabat, dan lain-lain, sering untuk hal seperti ini saya sampaikan, anggaplah misalnya mereka itu bukan Muslim, satu hal yang penting untuk direnungkan adalah bahwa Barat, khususnya USA, telah menempatkan Iran sebagai negara Islam yang disegani, ditakuti! Tidak pada yang lain!
Di arena muktamar tidak pernah saya dengarkan ucapan mencela Abu Bakar, Umar, Utsman. Dan para mahasiswa bahkan bercerita bahwa mencela Sahabat dilarang di Iran. Saya memang tinggal hanya empat hari, tapi mahasiswa tersebut sudah lama belajar di negeri ini. Tentu saya tetap Muhammadiy. Ketika ditanya apakah saya sunni atau syi’yy? Saya jawab ana Muhammadiyy, la syi’yy wa la sunnyy. Mereka tersenyum. Ya saya balas dengan tersenyum juga. Bukankah senyum itu sehat dan menyehatkan! Tentu asal tidak terus menerus! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post