Bertemu Ahli Pijat di Mekah, Ini Kisahnya

Lalu Suparman, tukan pijar di Mekah (Nur Cholish Huda/PWMU.CO)

Bertemu Ahli Pijat di Mekah, Ini Kisahnya; Catatan Ringan Perjalanan Umrah oleh Nur Cholis Huda, Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim.

PWMU.CO – Saya bertemu dia ketika sama-sama shalat malam di Masjidil Haram. Saya jejer (berdampingan) satu shaf dengan dia. Selesai shalat malam, waktu Subuh masih lama. Satu setengah jam lagi. Saya ngaji lewat HP tanpa suara. Tapi dia pakai Quran dengan suara agak keras.

Suaranya merdu. Ngajinya enak dengan tajwid bagus. Saya pikir dia mahasiswa Ummul Quran, salah satu perguruan tinggi di Arab Saudi. Ketika dia jeda, saya tanya: Dari Indonesia?

“Ya, dari Nusa Tenggara Barat (NTB).

“Oh, berarti satu daerah dengan Lalu Mohammad Zohri, pelari cepat kita.”

“Ya, saya satu sekolah dengan dia. Kalau lari dia seperti kijang. Cepat sekali.” 

“Anda semester berapa?”

“Saya tidak kuliah. Saya bekerja.”

“Bekerja sebagai ahli bangunan?”

“Tidak. Saya sebagai ahli pijat. Tepatnya tukang pijat.”

Saya agak kaget. Terasa unik. “Nama Anda?”

“Saya Parman. Suparman.”

“Lo, orang NTB kok namanya Suparman, seperti orang Jawa?” 

“Tetangga saya memberi nama anaknya Firman. Ibu tertarik dengan nama itu lalu saya diberi nama Suparman. Tetapi depannya ada nama Lalu, sebagai ciri orang NTB.”

“Yang Anda pijat kawan dari Indonesia atau orang Arab?” 

“Lebih sering orang Arab. Mula-mula satu orang lalu dari mulut ke mulut bertambah.”

“Anda kecil. Kuat pijit orang Arab yang besar itu?”

“Saya bukan pijat capek tapi pijat urat. Kalau orang uratnya tidak benar, ditekan sedikit sudah kesakitan tidak tahan.” 

“Anda pernah memijit perempuan Arab?”

“Pernah. Tapi saya minta suaminya ikut menunggui agar tidak terjadi fitnah.”

“Dalam sehari berapa orang yang Anda pijat?”

“Saya batasi dua orang saja. Saya menjaga kebugaran tubuh saya juga. Pekerjaan saya modalnya kan kepercayaan. Itu yang harus saya jaga baik-baik.”

“Berapa Anda tentukan ongkos sekali pijat?”

“Saya gaya Indonesia. Tidak menentukan tarif. Suka rela. Terserah. Tapi rata-rata 150 atau 200 real mereka memberi.” Satu real = Rp. 4.200 rupiah. Jadi cukup tinggi juga.

“Bagaimana asal mula Anda memutuskan jadi tukang pijat di Mekah? 

Dia lalu bercerita. Semula dia ingin buka pijat di NTB. Ternyata syaratnya ribet. Harus punya ruangan 6×4 m. Punya peralatan. Punya izin dan punya sertifikat. Uang dari mana membuat ruangan khusus pijat. Lalu dia coba kontak kawan dari NTB yang bekerja tukang bangunan di Arab Saudi.

“Mungkin nggak saya bekerja jadi tukang pijat di sini?” Kawannya tertawa. “Boleh kamu coba. Kamu tanpa pesaing karena setahu saya belum ada tukang pijat.”

Baca sambungan di halaman 2: Menghajikan Ibu

Lalu Suparman, tukan pijar di Mekah. Bertemu Ahli Pijat di Mekah, Ini Kisahnya (Nur Cholish Huda/PWMU.CO)

Menghajikan Ibu

Dia lalu berangkat ke Mekah. Dia yakin kalau niatnya sungguh-sungguh mencari uang halal, Allah akan membantunya. Ternyata Allah membuka rezeki untuknya. Ketika kali pertama melihat Ka’bah, dia menangis haru. Tidak pernah terbayang dia bisa shalat di depan Ka’bah. Dengan pakaian ihram dia lama sekali duduk menghadap Ka’bah.

Lalu dia teringat ibunya. Alangkah bahagia ibu kalau aku bisa mengajaknya haji. Maka sejak itu dia berpikir bagaimana cara bisa menghajikan ibunya. Kalau ikut antre masih lebih 20 tahun lagi. Ibunya 20 tahun lagi sudah terlalu tua. Mungkin usianya tidak sampai.

Sejak itu dia pikirkan bagaimana cara bisa mengajak ibunya haji. Bagaimana cara mengumpulkan uang untuk biaya ibunya ke Mekah. Kapan waktu paling aman. Bagi dia inilah saat yang tepat membahagiakan ibunya. Haji. Haji. Itulah impian orang di kampungnya.

Dia berencana satu bulan menjelang haji, ibunya akan diminta datang dengan visa umrah. Terus tidak pulang sampai musim haji tiba. Lalu selesai menjalani ibadah haji baru ibunya pulang. Dia sudah memikirkan di mana ibunya tinggal selama sebulan menunggu masa haji. Bagaimana nanti di Arafah, di Mina, lempar jumrah sampai haji selesai.

Apa boleh umrah terus dilanjutkan haji?

Kalau ketahuan tidak boleh. Penduduk Arab sendiri kalau mau haji harus ada izin. Apalagi orang luar Arab Saudi. Saya sudah pikirkan semua itu. Yang penting ibu bisa haji. Kalau ibu sudah haji, saya akan menabung untuk modal pulang. Saya tidak ingin selamanya jadi tukang pijat di Mekah. Saya akan buka tempat pijat di NTB. Menikah dan berkeluarga di NTB. Saya ingin hidup normal bisa berkeluarga seperti orang lain.

Entah berapa orang lagi yang “nakal” dari jamaah umrah. Mestinya umrah hanya beberapa hari tapi tinggal sampai lebih sebulan. Itu disebabkan adanya antraen haji yang panjang. Orang lalu cari jalan sendiri-sendiri. “Niat menghajikan ibumu itu niat mulia. “Saya doakan semoga lancar,” kata saya sebelum berpisah. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version