PWMU.CO – Perintis Muhammadiyah di Desa Lobuk, Kecamatan Bluto, Sumenep, Judi Hartono (58), wafat. Dia meninggal saat bertugas di SDN Lobuk 1, Rabu (12/10/2023).
Judi Hartono dikenal dengan panggilan Pak Ijang. Di Madura setiap orang tua dipanggil dengan nama anak pertamanya. Anak pertama Judi Hartono bernama Saiful Rijal. Dipanggil Ijang.
Hampir semua orang tak percaya kalau Pak Ijang meninggal. Banyak yang melihat Pak Ijang masih beraktivitas rutin dalam keadaan segar bugar.
“Pagi hari masih nyiram halaman dan kembang. Masih ngobrol dengan banyak orang. Baik yang lewat di jalan maupun yang belanja,” kata Horriyati, istrinya, saat ditemui di rumahnya, Kamis (12/10/2023).
”Aku merasa Pak Ijang belum meninggal. Hanya pergi bermain seperti biasa,” katanya lagi sambil meneteskan air mata.
”Aku tidak menyangka kalau Pak Ijang akan meninggal. Tak ada firasat apapun,” lanjut Horriyati.
Selesai menyiram kembang Pak Ijang berangkat mengajar di SDN Lobuk 1. Sekitar pukul 09.30 dia kembali ke ruang guru setelah mengajar.
Di ruang guru dia membuka laptop bermaksud mengerjakan sesuatu. Namun baru mulai mengetik, teman-teman guru melihat Pak Ijang lemas kemudian lunglai.
“Sempat dipanggilkan ambulans dan dibawa ke Puskesmas. Namun Pak Ijang sudah tiada,” lanjut Bu Horri.
Kepergian Pak Ijang menyisakan kesedihan bagi banyak orang. Terutama murid-muridnya. Pak Ijang bukan guru biasa. Dia bahkan menjadi orang tua bagi murid-muridnya.
“Kalau lagi kumpul dengan muridnya Pak Ijang sering tanya, ayo siapa yang uang jajannya habis?” tutur Bu Horri.
Mereka yang mengaku uang jajannya habis langsung dikasih oleh Pak Ijang. Walaupun hanya Rp 2.000, anak-anak sudah senang.
“Uang itu sengaja disiapkan oleh Pak Ijang. Kadang sampai menukar di tempat arisan,” ujar Bu Horri.
Bagi anak-anak yatim besarannya beda. Kadang Rp 5.000. Setiap jam istirahat, Pak Ijang selalu dikerumuni murid-muridnya. Ada yang cabuti uban. Ada yang mijet. Ada yang cerita. Bahkan pernah murid-muridnya membuat kejutan. Disiapkan buah satu meja penuh.
”Terkadang pas mau pulang anak-anak sudah berebut naik sepeda motor Pak Ijang. Mereka ingin ikut main ke rumah Pak Ijang,” sambung Bu Horri.
Terkadang juga sepeda motornya digantungi macam-macam. Padahal Pak Ijang tak pernah meminta. ”Murid-muridnya menangis. Apa masih bisa mendapatkan guru sebaik Pak Ijang?” cerita Bu Horri.
”Pak Ijang sering berkata bahwa dia ingin menjadi orang tua dari semua murid-muridnya. Bukan sekadar guru,” kata Bu Horri.
Perintis Muhammadiyah
Pak Ijang bersama Pak Fauzi perintis Muhammadiyah di Desa Lobuk, 40 tahun lampau. Ketika umurnya masih 18 tahun. Baru lulus SPG (Sekolah Pendidikan Guru). “Mulai dari merintis perkumpulan anak muda, remaja, dan santri. Mulai dari mengadakan perkumpulan Diba’ untuk remaja, kemudian menjadi takmir masjid,” cerita Zainuri, Ketua PCM Bluto.
Dia menambahkan, perkumpulan itu kemudian meluas menjadi penyantunan. “Setiap Ramadhan perkumpulan ini memberikan santunan kepada orang miskin, yatim piatu, dan janda,” lanjut Zainuri.
Sumber dana dari berbagai pihak, termasuk zakat dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sumenep.
Setiap Idul Adha selalu mendapat kiriman kambing dari PDM Sumenep. “Kegiatan itu yang memperkenalkan Muhammadiyah kepada masyarakat Desa Lobuk. Beberapa kegiatan selalu menghadirkan PDM Sumenep,” kata Zainuri.
Termasuk juga pengiriman kader untuk menempuh pendidikan. Bagi lulusan SD atau SMP dikirim ke Panti Asuhan Muhammadiyah Sumenep. Mereka disekolahkan dengan biaya dari Panti Asuhan Muhammadiyah Sumenep.
Ada yang sekolah SMP atau MTs Negeri. Ketika SMA, semua harus masuk SMA Muhammadiyah 1 Sumenep. Sejak tahun 1994, Muhammadiyah Cabang Bluto selalu mengirim kader untuk dididik di Panti Asuhan Muhammadiyah.
“Sebenarnya kita ini Cabang Muhammadiyah Bluto, tapi Muhammadiyah adanya hanya di Desa Lobuk. Ya ini yang dirintis Pak Ijang,” ujar Zainuri.
Pak Ijang telah pergi diantar air mata dan doa para murid, teman, saudara, dan kader. Para kadernya terserak di mana-mana. Bahkan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, yaitu Sunanto.
Penulis Ernam Editor Sugeng Purwanto