AKTUALISASI KEPRIBADIAN MUSLIM BERKEMAJUAN
Khutbah Idul Fitri, 1 Syawal 1438 H / 25 Juni 2017 M
di Lapangan Gajayana Malang
Oleh : H. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، العظيم الذي خضع كل شيء لعظمته، والعزيز الذي ذلَّ كل قوي لسطوته وعزته. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وصفيه وخليله رأى من آيات ربه ما رأى، وعلم من عظمته ما علم، فخشع قلبه لربه وسحت بالدمع عينه، صلى الله وسلم وبارك عليه وعلى آله وصحبه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. ﴿ يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ا مَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ﴾ أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
الله أكبر الله أكبر الله أكبر و لله الحمدالله أكبر كبيرا و الحمد لله كثيرا و سبحان الله بكرة و أصيلا لآإله إلا الله و لا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون لآإله إلا الله وحده صدق وعده و نصر عبده و أعز جنده و هزم الأحزاب وحده لآإله إلا الله الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Segala puji hanya milik Allah, Dzat Yang Maha Agung, Maha Tinggi, dan Maha Mulia. Kepada-Nya segenap makhluk bergantung dan hanya kepada-Nya segala sesuatu akan kembali. Dialah al-Khaliq al-Mudabbir, Dzat yang telah menciptakan dan mengatur alam semesta ini dengan seluruh aturan-Nya yang utuh dan sempurna. Dialah yang menurunkan Al-Qur’an di bulan suci Ramadhan sebagai petunjuk hidup dan pemisah antara haq dan bathil bagi umat sejagad. Dia pula yang menurunkan Islam sebagai agama yang benar dan haq di sisiNya, agar dijadikan sebagai jalan kehidupan ’manhajul hayat’.
الله أكبر، الله أكبر،لا إله إلاّاللّه و اللّه اكبر، اللّه أكبر و للّه الحمد
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita; barangkali kita takkan pernah bertemu lagi. Berlalunya Ramadhan pantas ditangisi; mungkin kita belum mampu memanfaatkan kehadirannya dengan baik dan maksimal. Betapa banyak keutamaan-keutamanya namun belum kita raih. Semoga Allah mengabulkan segala ibadah yang telah kita lakukan dan mengampuni segala kelalaian kita:
((رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ)) ((وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ))
Hasan al-Bashari memberikan kesaksian, bahwa generasi Salaf terdahulu adalah para petarung sejati dalam kebaikan. Namun mereka sangatlah khawatir jika kebaikan-kebaikan tersebut tidak diterima Allah SWT. Orang mukmin sejati ialah yang selalu memadukan antara perbuatan baik dan rasa takut karena keagungan Allah, sementara orang munafik senang berbuat keburukan dan pada saat yang sama ia merasa aman di hadapan Allah SWT (Tafsir al-Thabari : vol 18: 32)
Aisyah RA, isteri baginda Rasulullah SAW, ketika membaca surat Al-Mukminun ayat 60 :, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”, bertanya kepada Rasulullah SAW, “apakah mereka (di samping melakukan kebaikan-kebaikan juga) minum khmar, mencuri dan berzina?. Dengan tegas Rasulullah s.a.w. menjawab : “Tidak ! wahai puteri Abu Bakar Ash-Shiddiq; justeru mereka adalah orang-orang yang selalu berpuasa, mendirikan shalat dan selalu bershadaqah akan tetapi mereka sangat takut jika semua kebaikan itu tidak diterima oleh Allah; mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam mengerjakan segala kebaikan.”( HR Tirmidzi).
Diriwayatkan bahwa di malam terakhir Ramadlan, sahabat Ali bin Abi Thalib RA bersenandung, “Duhai, siapakah yang diterima amalnya kita ucapkan selamat, siapakah yang ditolak amalnya kita ucapkan belasungkawa?”. Ibnu Mas’ud RA mengatakan, “wahai orang yang diterima amalnya !, selamat untukmu, wahai orang yang ditolak amalnya !, semoga Allah meringankan dukamu !. ‘Umar bin ‘Abdul Aziz, tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri berkata “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Hari ini, saudara-saudara sekalian keluar (ke tanah lapang) seraya memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi, apalah daya, aku hanyalah seorang hamba yang diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima atau tidak.” (Lathaif al-Ma’arif : 376)
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,
Puasa yang telah kita lakukan selama sebulan penuh semata-mata bukanlah menjadi tujuan pada dirinya. Meninggalkan aktivitas makan dan minum hanyalah satu sisi kecil dari puasa itu sendiri. Memaknai puasa hanya sebagai kemampuan untuk menahan rasa lapar dan dahaga di siang hari merupakan pemaknaan dangkal, parsial bahkan sekularistik, bias dari hakekat puasa sesungguhnya. Terdapat banyak riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW yang menafikan aktifitas meninggalkan makan-minum sebagai makna tunggal dari puasa tersebut. Diantaranya Rasulullah s.a.w. menegaskan;
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ اْلجُوْع ُوَاْلعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إ ِلاَّ السَّهْرُ
Betapa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar, dan betapa banyak orang yang melakukan qiamullail,tidak memperolah apa-apa kecuali hanya bergadang saja (HR Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim; shahih berdasarkan dengan syarat Bukhari)
مَنْ لَـمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَاْلعَمَلَ بِِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barang siapa yang tidak dapat meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya. (HR Bukhari)
Dari keterangan Rasulullah SAW tersebut, sekali lagi, dapat ditegaskan bahwa puasa, disamping sebagai ritual murni, juga fungsional sebagai media dan sarana pembentuk karakter dan keperibadian mulia seorang muslim baik sebagai individu, keluarga, warga masyarakat ataupun komponen bangsa yang besar. Mereka adalah masyarakat yang selalu berusaha memposisikan dirinya berada persis pada frame yang telah didesainNya. Ibarat sebuah potret yang berada pada bingkainya sehingga tampak simetris dan indah. Itulah aktualisasi taqwa sejati yang menjadi visi utama shiyam Ramadhan kita. Masyarakat muslim yang berkarakter adalah masyarakat yang ‘hidup’. Hidup karena menyambut seruan Allah s.w.t. dan RasulNya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُون
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (Q.S. Al-Anfâl/8:24).(bs)
Selengkapnya silahkan Download file pdf nya
[pdf-embedder url=”https://www.pwmu.co/wp-content/uploads/2017/06/Khutbah-Idul-Fitri-1438-H-Fathurrohman-kamal.pdf” title=”Khutbah Idul Fitri 1438 H Fathurrohman kamal”]