Siapkah Muhammadiyah Merangkul Disabilitas?

Muhammad Amanatullah menggambar kelopak bunga dengan kakinya di statu acar (Sayyidah Nuriyah/PWMU.CO)

PWMU.CO – Siapkah Muhammadiyah Merangkul Disabilitas? Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 sudah mengatur perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawainya. Tapi bagaimana dengan aktualisasinya di amal usaha Muhammadiyah (AUM)? 

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Abdul Mu’ti MEd–merujuk https://pwmu.co/280146/02/20/tiga-pilar-amal-usaha-muhammadiyah-untuk-bangsa/, 18 Februari 2023–pernah mengungkap, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang mengelola lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan lembaga pendidikan identik dengan Muhammadiyah. 

Setidaknya, ada 7 ribu sekolah dan madrasah Muhammadiyah serta 171 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Selain itu, amal usaha Muhammadiyah (AUM) juga ada yang berupa 121 rumah sakit dan lebih dari 500 layanan kesehatan di penjuru tanah air. 

Bayangkan setiap AUM mau membuka ruang kolaborasi terhadap satu orang dengan disabilitas, maka berdasarkan jumlah AUM di atas, sudah ada 7.792 disabilitas yang terjamin haknya. Mengutip data dari laman Kemenkopmk.go.id (15 Juni 2023), kini tercatat 22,97 juta penyandang disabilitas di negeri ini. 

Jika ambil langkah serius, Muhammadiyah bisa ikut berkontribusi menangani salah satu pekerjaan rumah bangsa Indonesia. Kalau yang utama bagaimana menempatkan right man at the right place, mengapa masih berpikir ulang dalam mencipta kesuksesan yang lebih besar dengan berkolaborasi?

Ada kalanya tulisan hadir tak melulu sajikan solusi. Melainkan untuk mengawali ruang refleksi dan diskusi sehingga muncul beragam alternatif cara dari banyak kepala dengan visi yang sama. Yakni mencipta ruang publik yang saling menerima dan melibatkan semua. 

Mari Refleksi 

Pekerjaan menjadi media seseorang mengaktualisasikan diri, termasuk bagi saudara kita dengan ragam keunikannya. Asal saudara kita dengan different ability (difabel) ini telah mengenal dirinya, memahami apa yang dia sukai dan dia sangat mampu melakukannya, mengapa masih ragu menerima dan melibatkan? Bukankah dia juga butuh mengalami tuntutan tanggung jawab yang sama untuk menjadi semakin berarti? 

Kalau kita paham bahagia adalah bagaimana bisa berkontribusi untuk sekitar, menjadi totalitas bermanfaat bagi umat, mengapa masih ragu memberi ruang kepada sesama insan beriman? Kalau kita bisa bahagia dengan pekerjaan yang tepat untuk kita, mengapa tidak mereka juga punya peluang yang sama mencicipi manisnya pekerjaan itu? 

Selama sama-sama punya akal untuk memahami etika dan budaya organisasi, mau meraih visi dan menempuh misi yang sejalan, mengapa enggan saling mendukung hanya karena fokus pada satu hal yang Allah tidak anugerahkan padanya? Sebab mereka pun berhak merasa berdaya dari meningkatkan nilai dirinya, melalui apa kontribusinya di ruang masyarakat. 

Kalau kita dan organisasi tempat kita mengabdi masih terkungkung ketakutan tak bisa berlari atau hadirnya mencoreng keagungan wajah organisasi, kini tiba saatnya mendobrak sekat itu. Masih ada kesempatan untuk mengaktifkan hati nurani yang lama dijejali stigma. Membuka ruang kolaborasi untuk mencapai visi yang selaras. 

Duh, sejauh ini masih sebatas menyaksikan mereka berjuang sendiri? Minimal hadirnya kita bisa mendukung langkahnya agar bisa berjalan lebih jauh. Mulai dari memulai obrolan yang menguatkan diri, sampai alat bantu yang memudahkannya eksplorasi dan mandiri. 

Terkait pengamalan hal ini, ada salah satu sekolah dasar Muhammadiyah di Kabupaten Gresik yang telah membuka ruang kolaborasi. SDM 1 GKB ini awalnya mengenalkan karya pelukis dengan kaki yang telah mendunia dengan menggelar pameran lukisan https://pwmu.co/243885/06/16/bantu-pelukis-dengan-kaki-punya-sepeda-elektrik-sd-mugeb-gelar-pameran/ di salah satu kegiatan sekolah. Sehingga tumbuhlah iklim peduli dan empati pada siswanya, lalu merekrutnya sebagai guru ekstrakurikuler menggambar. 

Motor modifikasi https://pwmu.co/244273/06/20/kumpulkan-rp-256-juta-sd-mugeb-wujudkan-mimpi-kak-aam-sang-pelukis-dengan-kaki/ khusus juga disediakan agar lebih mandiri mobilitasnya dari rumah menuju tempat kerja atau ruang publik lainnya sehari-hari. Pun membuka akses untuk pengurusan SIM khusus difabel https://pwmu.co/255843/09/10/akhirnya-pelukis-dengan-kaki-itu-punya-sim-khusus-difabel1/ sehingga keamanannya berkendara terjamin. 

Sudah Melibatkan, Lalu? 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pasal 81 ayat 22 berbunyi: “Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasan.” 

Melihat pasal ini, melibatkan orang dengan disabilitas untuk diajak bekerja sama tentu belum jawaban akhir atas pekerjaan rumah yang ada. Selanjutnya, perlu menjadi perhatian bersama bagaimana memberikan perlindungan terhadapnya. 

Tentu bukan untuk adu hebat karena hadirnya sebagai sesama manusia, saling bersinergi dan mengisi peran sesuai kompetensi. Memang sejak awal kehadirannya bukan kita jadikan sebagai objek kompetisi. Mengingat lebih penting mengevaluasi diri agar bisa berlomba dengan diri sendiri, menjadi insan lebih baik dari hari ke hari. 

Di mana dalam membina hubungan, tidak bersifat transaksional semata, melainkan perlu saling menghargai dan menghormati. Ini timbul ketika masing-masing mampu memahami potensi diri yang bernilai bagi sekitar. Hingga terbentuk harga dan kepercayaan diri setara kontribusi yang dilakukan. Sudahkah saling mendukung agar lebih percaya diri? 

Kepada diri sendiri dan organisasi, sudahkah kita membuang tawa pada hal yang tak seharusnya? Seperti ketidakmampuan seseorang yang muncul bukan karena malasnya. Lantas mengganti tawa itu dengan peduli dan empati karena memahami ada keunggulan-keunggulan lain di atas satu ketidakmampuan itu. 

Oh, bukankah menapaki aksi kebaikan tak perlu tunggu-menunggu? Bahkan justru baiknya berebut tulus membantu. Tak perlu mengejar kesempurnaan sistem dan akses ruang dulu. Semua bisa berproses beriringan. Bantuan akan hadir usai kita berikan bantuan pada yang membutuhkan.

Tantangannya pun menguji semangat totalitas bertoleransi. Sudahkah menyisihkan sebagian untuk membangun infrastruktur bagi semua? Agar perwujudan cita-cita dirasakan. 

Kita percaya, di Muhammadiyah penuh kemungkinan, tak mustahil bergerak bersama meretas batas. Mari saling menguatkan.  (*) 

Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version