PWMU.CO – SD Mugeb meramu konsekuensi logis yang ramah anak bareng Dinas KBPPPA, Ikwam dan IPM, Jumat (19/10/2023).
Usai memperpanjang Memorandum of Understanding (MoU) dengan Dinas Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KBPPPA) Kabupaten Gresik (26/9/2023), SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik kembali menjalin kerja sama untuk pendampingan merumuskan konsekuensi logis.
Siang itu, hadir Sri Yoeni Ambarwati SSos, Pembina Bidang Perlindungan Perempuan, Anak, dan Pengarusutamaan Hak Anak. Hadir pula Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Gresik Nurul Hijaa SHum.
Agenda yang berlangsung di ruang rapat lantai 2 SD Mugeb itu melibatkan 24 peserta. Mereka terdiri dari 12 wali siswa yang tergabung dalam Ikatan Wali Murid (Ikwam), 4 guru Koordinator, 2 guru Bimbingan dan Konseling, 5 siswa yang tergabung Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Junior dan Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan Nugra Heny Apriliah SPdI.
Ambar, sapaan akrabnya, awalnya memaparkan seputar Sekolah Ramah Anak (SRA). “Saya mengajak ibu dan anak-anak sekalian untuk menerapkan SRA,” ungkapnya siang itu.
Selanjutnya, giliran Inung–sapaan akrab Nurul Hijaa–menjelaskan bagaimana sikap dewasa terhadap anak, menerapkan konsep SRA di SD Mugeb, dan menentukan konsekuensi logis.
Prinsip SRA
Dia lantas menerangkan prinsip SRA. Pertama, non diskriminasi. “Semua anak punya hak sama. Tidak boleh ada diskriminasi. Tidak boleh ada perbedaan,” ungkapnya.
Kedua, semua harus berprinsip kepentingan terbaik bagi anak. “Kadang menurut orangtua baik, menurut anak belum tentu. Jangan merasa orangtua merasa tau segalanya. Yang tahu kebutuhan anak ya anak itu sendiri,” imbuhnya.
Ketiga, hidup, tumbuh, dan berkembang. Inung meyakini, ketika anak dikasih pembelajaran yang bagus, maka dia akan berkembang ketika dewasa nanti.
Keempat, prinsip menghormati dan mendengarkan partisipasi suara anak. “Tanya anak, kebutuhan kamu apa?” tuturnya.
Kelima, pengelolaan yang baik. Inung menuturkan, sistem harus terjaga agar keberlanjutan terjaga. Mulai perencanaan sampai monitoring dan evaluasi. “Ini tidak hanya pengelola sekolah yang terlibat tapi keterlibatan Ikwam dan anak-anak serta stakeholder juga dilibatkan agar sama-sama tahu,” harapnya.
Inung lantas menegaskan, ketika anak berbuat salah, yang terpenting adalah bagaimana pendisiplinannya, bukan hukumannya. “Saat anak salah tidak boleh dihukum. Didisiplinkan dengan mendapat konsekuensi,” ujarnya
Jadi anak harus diberi pengetahuan konsekuensi apa yang didapat ketika melakukan kesalahan. Begitupun ketika anak melakukan hal positif, dijelaskan hak apa yang dia dapatkan. “Konsekuensi tidak hanya untuk perilaku negatif,” imbuh Inung.
Dia juga mengajak para guru dan orangtua yang hadir untuk memperbanyak apresiasi dalam menjalankan tata tertib. “Anak berusaha banget mematuhi tata tertib. Masuk sekolah jam 6.30, bangun jam 5.00. Bangun lebih awal itu berat. Kita yang dewasa saja berat, apalagi anak-anak. Maka minimal kita bilang terima kasih,” ajaknya.
Dia mengimbau tidak pelit kasih apresiasi ke anak. “Kalau kita sering marah-marah, mereka akan juga sering marah-marah. Berikan anak-anak contoh yang bagus,” tambahnya.
Tiga Pilar
Dalam melaksanakan SRA, kata Inung, ada tiga pilar yang penting. “Ketiga pilar penting ini dalam SRA satu sama lain harus bersinergi. Tidak boleh hanya satu yang mendominasi,” jelas Inung.
Pertama, pilar sekolah. “Mulai kepala sekolah sampai petugas kebersihan dan satpam semua harus bersinergi dalam melaksanakan sistem,” ungkapnya.
Kedua, pilar orangtua. Ketiga, pilar siswa. “Siswa juga dilibatkan sebagai pelaksana peraturan. Yang bikin aturan pengelola sekolah, yang melaksanakan anak-anak. Adil tidak? Biar adil, anak juga diajak membahas aturan di sekolah,” imbuhnya.
Kata Inung, komunikasi tiga pilar itu harus berkesinambungan. Tidak boleh hanya sekolah yang menentukan. “Kebijakan dibuat kepala sekolah dengan persetujuan tiga pilar,” terangnya.
Akhirnya Inung menyatakan, “Kita sekarang mengantarkan SD Mugeb menuju ke sana. Kita bersama berkomitmen. Kita ajak anak-anak nanti peraturannya begini-begini. Lalu membuat kebijakan.”
Prinsipnya dalam menentukan konsekuensi logis, kata Inung, ialah tanggung jawab membuat membuat anak memanahami apa yang dilakukan. “Jangan sampai melukai fisik dan psikis anak sehingga muncul traumatik. Tidak sekadar membuat anak jera. Semua dalam koridor memberikan pendidikan terhadap anak,” imbuhnya.
Mereka lantas membentuk lima kelompok di mana masing-masing kelompok terdiri dari perwakilan orangtua (Ikwam), siswa (IPM), dan guru. Selama 15 menit, mereka mendiskusikan konsekuensi logis dari perilaku salah yang sering terjadi di enam kondisi, yakni saat kedatangan, di kelas, di kantin, di tempat shalat, dan di ruang umum.
Setelah itu, masing-masing perwakilan kelompok menyampaikan hasil diskusi kelompok. Nararya Esti Pangayu kelas V Desain pun menyampaikan tiga konsekuensi logis terhadap pelanggaran di kantin. Semua bertepuk tangan dan mengucap terima kasih usai Naya, sapaan akrabnya, memaparkan dengan lancar dan jelas. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni