Studi Kritis Hadits tentang Cara Sujud Bagian I; Format Baru Fatwa-Fatwa Tarjih oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA; Ketua Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim dan Direktur Turats Nabawi, Pusat Studi Hadits.
PWMU.CO – Soal cara sujud muncul pertanyaan apakah mendahulukan tangan atau lutut terlebih dahulu. Dalam hal ini memang ditemukan dua pendapat. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa cara sujud itu mendahulukan lutut kemudian kedua tangan. Kedua, kebalikan dari cara yang pertama, yakni mendahulukan tangan kemudian kedua lutut.
Sesungguhnya seluruh ulama sepakat bahwa untuk cara sujud umat dilarang oleh Rasulullah SAW untuk berdekam seperti berderumnya unta. Akan tetapi yang menjadi perselisihan persepsi, bagaimana unta berderum dalam sudut pandangan manusia, apakah unta itu mendahulukan lututnya atau mendahulukan tangannya?
Bagi mereka yang berkeyakinan bahwa unta ketika berderum mendahulukan lututnya, maka mereka mengeluarkan fatwa agar umat Muhammad saw dalam sujudnya agar mendahulukan tangannya. Namun bagi mereka yang berkeyakinan bahwa unta ketika berderum mendahulukan tangannya, maka mereka mengeluarkan fatwa agar umat Muhammad saw. dalam sujudnya agar mendahulukan lututnya.
Hasil Penelitian Nadwah Mudzakarah
Menurut hasil penelitian Nadwah Mudzakarah, bahwa semua hadits baik yang mendahulukan lutut maupun tangan tidak ada satu pun yang shahih.
Hadits-hadits yang mendahulukan lutut semuanya dinilai dhaif.
1. Hadits yang diriwayatkan Saad RA
كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الرُّكْبَتَيْنِ فَأُمِرْنَا بِالرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ (رواه ابن خزيمة)
“Kami biasa meletakkan kedua tangan kami sebelum kedua lutut, lalu kami diperintah (meletakkan) kedua lutut sebelum kedua tangan” HR. Ibnu Khuzaimah.
Hasil penelitian: Hadits di atas dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam al-Shahih: (628) dengan sanad (mata rantai perawi) sebagai berikut: Abu Thahir, dari Abu Bakar, dari Ibrahim bin Ismail bin Yahya, dari Yahya, dari Salamah, dari Mash’ab bin Sa’ad, dari Sa’ad ra.
Pada sanad ini terdapat dua perawi yang lemah, yaitu Ibrahim bin Ismail bin Yahya dan Ismail bin Yahya. Tentang Ibrahim ini dinilai bin Hiban: Ia meriwayatkan dari bapaknya hadits-hadits munkar. bin Ma’in menerangkan: Numair tidak meridhainya dan melemahkannya dan mengatakan: Ia biasa meriwayatkan hadits-hadits munkar. Imam al-Dzahabi berkata: Abu Zur’ah menganggapnya lemah dan Abu Hatim meninggalkan periwayatannya. Sedangkan bapaknya (Ismail) dinilai al-Daraqutni matruk al-hadits (haditsnya harus digugurkan). [Periksa: Tahdzib al-Tahdzib: (1/106 dan 336); Mizan al-I’tidal: (1/20 dan 254) dan Diwan al-Dhu’afa wa al-Matrukin: (1/93). Dengan demikian hadits ini lemah dan tidak dapat dipakai sebagai hujah.
Baca sambungan di halaman 2: Hadits yang diriwayatkan Wail bin Hujr RA