PWMU.CO – Tiga peran politik kebangsaan Muhammadiyah diungkapkan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd.
Abdul Mu’ti mengungkapkannya saat menjadi pembicara dalam Diskusi Panel Muhammadiyah dan Dinamika Politik Jelang Pilpres 2024, bersama Peneliti Politi Utama BRIN Prof Siti Zuhro.
Diskusi panel ini merupakan rangkaian dari perayaan Milad Ke-111 Muhammadiyah yang digelar Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) di Aula Mas Mansur, Gedung Muhammadiyah Jawa Timur, Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Sabtu (11/11/2023).
Menurut Abdul Mu’ti, sebagai ‘muadzin’ selama ini Muhammadiyah sudah melakukan tiga peran politik kebangsaan secara sangat relatif efektif. Pertama, kita berperan sebagai opinion maker.
“Ketika orang mencari gagasan-gagasan politik, itu ‘kan mencarinya ke Muhammadiyah. Sehingga banyak hal yang dirumuskan Muhammadiyah dalam sidang-sidang Tanwir, itu ‘kan perlahan-lahan diadopsi oleh pengambil kebijakan,” ujarnya.
Muhammadiyah, lanjutnya, menyampaikan gagasan itu sebagai wujud tanggung jawab terhadap masa depan negara ini. Bukan hanya karena Muhammadiyah itu ikut mendirikan negara ini, tetapi karena dengan komitmen sebagai pendukung negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah.
“Muhammadiyah harus kemudian ikut bertanggung jawab agar negara ini, sesuai Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Muhammadiyah harus ikut bertanggung jawab agar negara ini baldatun thayibun warabun ghafur,” ungkapnya.
Jadi sebagai opinion maker itu Muhammadiyah sangat dirujuk, tidak hanya kelembagaan tapi juga perseorangan. Sekretaris PWM Jatim Prof Biyanto ini, tulisan-tulisannya luar biasa. Seorang profesor Ushuluddin tetapi nyaris tidak pernah menulis tentang teologi.
“Karena kalau nulis teologi di koran itu bisa tidak dimuat. Sementara menulis di koran itu merupakan eksistensi kredit poin dan kredit koin,” ucapnya disambut tawa peserta perayaan milad.
“Kalau kita di kampus itu bagian dari remunerasi. Kita sebagai dosen kalau tidak dapat remunerasi maka bisa remuk kita itu,” candanya bikin tawa peserta meledak lagi.
Kedua, sambungnya, adalah political lobby. Muhammadiyah itu ada yang mengkritik. Muhammadiyah kok jadi Muhammadiyem toh. maksudnya Muhammadiyah diam. Seperti kritiknya Prof Zuhro tadi, Muhammadiyah kurang ngejoss.
“Tetapi orang tidak sadar bahwa sebenarnya banyak yang Muhammadiyah lakukan melalui lobi-lobi politik lintas partai dan lintas lembaga,” jelasnya.
“Kalau Prof Zainuddin Maliki masih merekam chat saya, dalam banyak hal tidak pernah muncul ke publik, tetapi itu cukup efektif. Jadi kami sering tik-tok dengan Prof Zainuddin, terutama untuk isu-isu pendidikan dan isu-isu yang lain. Sebagian berhasil. Bahkan sebagian RUU itu kita gagalkan, tentu dengan lobi,” sambungnya.
Dia memaparkan, Muhammadiyah bisa diterima karena kita netral. Lobi kita tidak punya interes yang berkaitan dengan bargaining position di kekuasaan.
“Tetapi untuk kepentingan bagaimana negara ini lebih baik dengan berbagai produk perundang-undangan dan kebijakan yang ada. Political lobby ini harus ada di semua lini,” pesannya.
Baca sambungan di halaman 2: Political Poressure