PWMU.CO – Usianya belum genap 30 tahun, tapi ibu muda yang berkerudung besar ini sudah melahirkan tujuh anak. Suatu saat, ia curhat kepada kawannya. Ia mengeluh kesulitan merawat dan mendidik anak-anaknya, lantaran hampir setiap tahun melahirkan. Sementara dirinya tidak ikut program KB (keluarga berencana), karena dilarang suami dan takut hukumnya haram.
“Kan ada KB yang Islami?” jawab sang kawan.
“Seperti apa KB Islami itu, mbak?” tanya dia penasaran.
“KB Islami adalah KB yang dipraktikkan pada zaman Nabi, yaitu ‘azl,” kata sang kawan memberikan penjelasan.
(Baca:Kontroversi Hukum Pre Wedding dan Bank Air Susu Ibu)
Dari dialog tersebut tergambar suatu kesimpulan bahwa ada KB yang Islami dan tidak Islami. ‘Azl, adalah contoh KB Islami. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan praktik ber-KB yang lazim dipakai masyarakat luas?
KB merupakan istilah khas Indonesia. Dimaksudkan sebagai suatu ikhtiar untuk mengatur keturunan, demi mencapai keluarga bahagia. Secara teknis, KB adalah sebuah usaha untuk pencegahan terjadinya pembuahan, atau pencegahan pertemuan antara sel mani dari laki-laki dan sel telur dari perempuan saat terjadi “hubungan” suami istri.
(Baca: Hukum Shalat Perempuan yang Mengalami Keguguran dan Nifas Bedah Caesar)
Pada masa Rasulullah, yang masyhur digunakan untuk mengatur kelahiran adalah dengan ‘azl, yaitu mengeluarkan sperma di luar rahim saat terjadi persetubuhan. Dalam hadits riwayat Imam Muslim dijelaskan bahwa para sahabat biasa melakukan ‘azl, dan ketika informasi itu sampai kepada Rasulullah, beliau tidak melarangnya.
Menurut almarhum Mu’ammal Hamidy, semua cara KB itu Islami, sepanjang dalam katagori ‘azl. “Yang tidak boleh, adalah vasektomi dan tubektomi, yang memotong saluran. Tapi yang pakai cincin atau kanalisasi itu boleh.”
Dalam istilah kedokteran, tubektomi adalah prosedur bedah untuk menghentikan fertilitas (kesuburan) seorang perempuan secara permanen. Sedangkan vasektomi adalah prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan jalan melakukan okusi vasa deferensia sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi (penyatuan dengan ovum) tidak terjadi.
(Baca:Bolehkah Kita Berdoa dengan Potongan Ayat al-Qur’an? dan Khatib Harus Sekaligus Jadi Imam?)
Yusuf Al-Qardhawi dalam buku Halal dan Haram mengungkapkan bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah lahirnya keturunan. Dengan adanya keturunan, menopang kelangsungan jenis manusia. Islam menyukai banyaknya keturunan di kalangan umatnya.
Namun, Islam juga mengizinkan kepada setiap Muslim untuk mengatur keturunan apabila didorong oleh alasan kuat. Seperti, adanya kekhawatiran kehidupan atau kesehatan ibu bila hamil atau melahirkan. Hal ini didasarkan pada Alquran surat Albaqarah ayat 195, agar seseorang tak menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Selanjutnya halaman 02…