Alasan lainnya, kekhawatiran munculnya bahaya terhadap urusan dunia yang tak jarang mempersulit ibadah, dan bisa membuat seseorang permisif terhadap barang haram atau menjalankan pekerjaan terlarang demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Persoalan kesehatan dan pendidikan juga menjadi faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan berkeluarga berencana. Rasulullah, kata Qardhawi, selalu memerintahkan umatnya berbuat hal yang melahirkan mashlahat dan tidak mengizinkan sesuatu yang menimbulkan bahaya, dan kini sudah ada beragam alat kontrasepsi yang dapat dipastikan kebaikannya.
(Baca:Bolehkah Kita Berdoa dengan Potongan Ayat al-Qur’an? dan Khatib Harus Sekaligus Jadi Imam?)
Dalam surah Annisa ayat 9 disebutkan, “Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan berbicara dengan tutur kata yang benar”.
Menurut Majelis Tarjih, Islam menganjurkan agar kehidupan anak-anak jangan sampai telantar sehingga menjadi tanggungan orang lain, dan ayat tersebut mengingatkan agar orang tua selalu memikirkan kesejahteraan jasmani dan rohani anak-anaknya.
(Baca: Hukum Shalat Perempuan yang Mengalami Keguguran dan Nifas Bedah Caesar)
Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan, dalam keadaan tertentu Islam tidak menghalangi pembatasan kelahiran melalui penggunaan obat pencegah kehamilan atau cara-cara lainnya. “Pembatasan kelahiran diperbolehkan bagi laki-laki yang beranak banyak dan tak sanggup lagi menanggung biaya pendidikan anaknya dengan baik. Demikian pula jika keadaan istri sudah lemah, mudah hamil, serta suaminya dalam kondisi miskin.”
Memang ada dua model KB. Pertama, membatasi keturunan (tahdiid al-nasl). Yakni menghentikan kelahiran secara permanen, dengan menggunakan berbagai sarana yang diperkirakan bisa mencegah kehamilan. Kedua, pengaturan keturunan (tandziim al-nasl).
(Baca:Kontroversi Hukum Pre Wedding dan Bank Air Susu Ibu)
Para ulama sepakat bahwa KB yang dibolehkan adalah model kedua, yaitu tandzim al nasl, bukan tahdid al-nasl. Tapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas tahun 1983, mengingatkan bahwa betapa pun secara teoritis sudah banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam arti tandziim al-nasl, tetapi kita harus tetap memperhatikan jenis dan cara kerja alat/metode kontrasepsi yang akan digunakan untuk ber-KB. (*)