Janji Netral di Pemilu, Dapatkah Dipercaya? oleh Masdawi Dahlan, Ketua Majelis Pustaka Informasi dan Digitalisasi PDM Pamekasan.
PWMU.CO – Dalam perjamuan makan siang Presiden Jokowi dengan tiga calon presiden (Capres) Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, di Istana Negara Senin (30/10/23) lalu, Anies Baswedan menyampaikan supaya presiden bersikap netral dalam Pemilu 2024.
Anies mengungkapkan permintaan itu disampaikan kepada presiden sebagai penyambung aspirasi yang dia temukan pada saat turun menemui masyarakat.
Menurut dia, masyarakat di bawah sangat berharap Presiden Jokowi bersikap netral dan meminta aparat negara juga menjaga netralitasnya pada seluruh proses Pilpres mendatang.
Anies menyampaikan, Presiden Jokowi menyambut positif permintaan masyarakat agar dirinya menjaga netralitas.
Presiden Jokowi, kata Anies, juga mengaku telah mengumpulkan para pejabat terkait meminta jaga netralitas. Bahkan juga berjanji hal yang sama akan dilakukan bagi kalangan TNI Polri dan aparat negara lainnya.
Menurut Anies Presiden Jokowi dan aparat terkait lainnya harus jaga netralitas agar Pilpres berjalan demokratis, aman, lancar, berkah dan berkualitas.
Jawaban presiden untuk bersikap netral itu juga mendapat tanggapan Ganjar Pranowo, Capres yang diusung PDI Perjaungan.
Menurut Ganjar, Presiden Jokowi merespon aspirasi masyarakat dengan baik karena dia adalah orang baik yang demokratis.
Dia mengatakan, netralitas presiden dan aparat sangat penting, karena tanpa netralitas Pilpres tidak demokratis.
Netralitas presiden dan aparat negara lainnya dalam Pilpres merupakan persoalan utama tiap kali momentum Pilpres.
Fakta
Janji netral dalam Pemilu 2024 dapatkah dipercaya?
Selama Pileg dan Pilpres digelar secara langsung di Indonesia selama ini, masyarakat selalu merasakan adanya nuansa ketidaknetralan aparat negara.
Pemilu 2014 dan 2019 berseliweran video aparat terlibat dalam kecurangan Pemilu di beberapa tempat tanpa dipersoalkan.
Kondisi inilah yang menjadi penyebab hingga saat ini Pilpres belum diyakini sebagai momentum rekrutmen kepemimpinan nasional yang legitimate dan bermoral, sehingga bisa menghasilkan pemimpin yang berintegritas berkualitas.
Netralitas aparat adalah para pejabat dan petugas yang terkait dengan seluruh proses penyelenggaraan Pemilu, apakah itu pihak keamanan, panitia, pengawas hingga aparat yudikatif yang bertugas mengadli sengketa Pemilu.
Ketidaknetralan aparat merupakan bagian dari cara licik dari sebuah rezim kekuasaan untuk memenangkan Pemilu.
Ketidaknetralan itu merupakan cikal bakal kecurangan dalam sebuah Pemilu. Bahkan ada pejabat di negeri ini yang mengatakan, kecurangan itu adalah bagian demokrasi.
Ketidaknetralan itu mengakibatkan terjadinya gangguan psikis bagi publik yang berakibat Pemilu tidak lagi bebas dan demokratis, dan tidak jarang pula berupa manipulasi data.
Permintaan Anies agar presiden dan aparat untuk netral dalam Pilpres mendatang sebenarnya bisa dimaknai sebagai permintaan agar Pemilu atau Pilpres tidak curang.
Yakni menggerakkan aparat untuk memanipulasi data dan fakta politik untuk kemenangan pasangan tertentu.
Tiap Pemilu selalu potensial adanya kecurangan, baik yang terjadi dalam skala ringan hingga kecurangan yang terencana, massif, dan sistematis.
Modusnya dengan cara memanfaatkan berbagai fasilitas teknologi mekanik dan aparat negara termasuk aparat penyelenggara Pemilu.
Praktik kecurangan yang dilakukan untuk memenangkan pasangan tertentu dalam kontestasi Pilpres sekarang, gejalanya bisa dibaca.
Di medsos beredar video wakil menteri memimpin pertemuan tim sukses dan mengatur strateginya.
Ada juga video pernyataan Jumhur Hidayat, aktivis oposisi, yang menegaskan pasti penguasa pasti berbuat curang. Sebab ada Cawapres anak dari penguasa.
Jumhur Hidayat menyarankan agar kalangan aktivis pro demokrasi mendatangi Mabes TNI meminta Panglima TNI memberikan perintah kepada jajarannya di seluruh tingkatan agar tidak ikut-ikutan politik.
Juga datangi Mabes Polri untuk meminta Kapolri memerintahkan jajarannya tidak cawe-cawe dalam urusun politik.
Lembaga survei juga dituduh menjadi bagian kecurangan. Membuat framing. Mengunggulkan calonnya dan merendahkan calon lawan.
Dengan publikasi hasil survei untuk mem-framing agar otak masyarakat meyakini kebenaran hasil survei tersebut.
Pengamat politik Rocky Gerung menilai lembaga survei itu adalah lembaga tipu-tipu.
Ketika otak dan pikiran masyarakat membenarkan hasil lembaga survei, maka masyarakat telah termakan rekayasa bahwa hanya pasangan calon yang memiliki elektabilitas berdasar survei yang layak dipilih.
Putra Mahkota
Sekarang yang sedang heboh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90 yang menerima gugatan syarat Capres-Cawapres pernah atau sedang menjabat kepala daerah.
Maka Gibran Rakabuming Raka lolos menjadi Cawapres Prabowo Subianto. Namun dampaknya sang paman Ketua Anwar Usman dipecat dari jabatan ketua MK karena dinilai melanggar berat etik hakim.
Karena sang putra mahkota sudah menjadi Cawapres, dapatkah janji netral dalam Pemilih dipercaya. Bukti-bukti sudah tersebar dalam fakta politik negeri ini. Antara janji yang diucapkan tak selaras dengan perbuatan. Kondisi bisa menjadi bara dalam sekam yang membakar Pemilu 2024.
Pengawasan jalannya Pemilu harus dikontrol dengan cermat. Kalau ingin mendapatkan pemimpin yang bisa membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita sudah punya delapan presiden dan negara ini sudah berumur 78 tahun, namun negara yang katanya subur makmur gemah ripah loh jinawi malah rakyat hidup sengsara. Kekayaan negara dinikmati para penguasa dan antek-anteknya.
Editor Sugeng Purwanto