Pemilu dan Kisah-Kisah Pengkhianatan oleh Hudiyo Firmanto, dosen PTS di Surabaya.
PWMU.CO – Mengiringi hiruk pikuk pemilihan presiden 2023 sering terdengar kata-kata dikhianati atau pengkhianatan.
Dalam kontestasi Pemilu kali ini, muncul kontroversi ketika Koalisi Perubahan secara tiba-tiba mengumumkan Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden.
Partai Demokrat merasa dikhianati dan meninggalkan koalisi. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) mengeluarkan pernyataan keras.
Diksi pengkhianatan juga digunakan oleh Prabowo Soebianto saat PKB tiba-tiba bergabung bersama Partai Nasdem dan PKS di Koalisi Perubahan.
Peristiwa berikutnya adalah kasus pencalonan wakil presiden yang berhubungan dengan PDI Perjuangan (PDIP).
Kita mungkin tidak menyadari bahwa sejarah kepemimpinan republik ini sering diwarnai dengan kisah pengkhianatan.
Sejak dari zaman Soekarno, sampai saat ini. Presiden pertama RI Soekarno merasa dikhianati oleh Jenderal Soeharto saat Surat Perintah Sebelas Maret yang disebutnya sebagai perintah untuk menjaga situasi keamanan digunakan oleh Soeharto sebagai alasan untuk mengambil alih kekuasaan. Soeharto mengambil alih kekuasaan dan mendelegitimasi semua hal yang berbau Soekarno.
Perasaan dikhianati akhirnya juga dialami oleh Soeharto. Dia merasa dikhianati dengan mundurnya 14 menteri dari kabinetnya.
Selain itu, kesediaan Habibie untuk menggantikannya sebagai presiden juga dianggap sebagai pengkhianatan oleh Soeharto dan keluarganya.
Hal ini memicu keretakan hubungan mereka. Bahkan saat Soeharto sakit menjelang meninggal, Habibie yang pernah menjadi anak emasnya pun tidak bisa menemuinya.
Gus Dur, presiden di era reformasi dimakzulkan di tengah masa jabatannya. Meski tidak menyebut bahwa dirinya dikhianati, Gus Dur menuding beberapa individu sebagai dalang di balik penggulingannya.
Pada kasus lain, Gus Dur dan keluarganya menuduh Muhaimin sebagai pengkhianat karena telah merebut PKB.
Megawati yang menggantikan Gus Dur sebagai presiden pada akhir pemerintahannya harus merasakan kekecewaan kepada SBY.
Megawati marah karena SBY yang saat itu menjabat sebagai Menko Polkam, tidak jujur mengenai niatnya untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Kejadian ini menciptakan perang dingin antara keduanya.
Perjanjian Batutulis sebagai Kesepakatan Bersama PDIP dan Partai Gerindra dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014 menyisakan satu cerita antara Prabowo dengan Megawati.
Di dalam klausul perjanjian yang disepakati, PDIP akan mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai presiden pada Pemilu tahun 2014. Namun kenyataannya PDIP mencalonkan Joko Widodo sebagai presiden. Prabowo pun merasa dikhianati.
Pada Pemilu kali ini, selain Partai Demokrat yang merasa dikhianati oleh Koalisi Perubahan, terjadi cerita dramatik seputar PDIP dan keluarga Presiden Joko Widodo.
Pencalonan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung presiden yang berstatus sebagai kader PDIP, maju sebagai calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Maju menimbulkan prahara di tubuh partai.
Pencalonan ini beserta rangkaian ceritanya kembali memunculkan narasi pengkhianatan di kalangan PDIP. Kecewa, kemarahan, rasa sakit, atau nelongso dapat ditangkap dari sikap dan pernyataan para tokohnya.
Para tokoh PDIP menyebut keluarga Jokowi meninggalkan PDIP setelah diberikan berbagai previlege atau keistimewaan. Partai ini memberikan dukungan bagi Jokowi untuk memimpin sebagai wali kota Solo, kemudian gubernur Jakarta, dan mencalonkannya dalam dua pemilihan presiden.
PDIP menunjukkan loyalitas dengan melindungi Jokowi dari serangan lawan politiknya. PDIP juga mendukung Bobby Nasution, menantu Jokowi, dan Gibran, putranya, untuk menjadi wali kota dengan cara yang di luar nalar politik, termasuk mengorbankan aturan-aturan partai.
Tindakan keluarga Jokowi terhadap Megawati dan PDIP mungkin bisa dianggap tindakan pribadi. Mungkin mirip kisah-kisah yang serupa dengan cerita tentang Megawati dengan SBY, Gus Dur dengan Megawati, Suharto dengan Habibie, atau Megawati dengan Prabowo.
Tindakan apa yang akan diambil oleh Megawati atau PDIP terhadap Jokowi pun bisa menjadi urusan mereka sendiri. Namun demikian, di balik itu semua, yang paling berbahaya adalah pengkhianatan terhadap demokrasi dan cita-cita reformasi.
Penggunaan kekuasaan secara sistematis untuk memfasilitasi keluarga dalam meraih jabatan di pemerintahan adalah bukti praktik kolusi dan nepotisme.
Cara-cara yang tidak wajar, dan pelibatan tangan kekuasaan di dalam pencalonan wali kota, wakil presiden, dan juga kisruh Mahkamah Konstitusi adalah tindakan yang mencederai dan mengkhianati cita-cita dan semangat reformasi.
Jika khianat-mengkhianati itu terjadi antar pribadi, atau antar ketua partai, biarlah itu menjadi urusan mereka sendiri.
Akan tetapi, pengkhianatan terhadap demokrasi, cita-cita reformasi, dan perusakan konstitusi, hakikatnya adalah pengkhianatan terhadap seluruh negeri.
Sejarah telah mencatat, bahwa pada pemerintahan kali ini, peristiwa ini terjadi.
Editor Sugeng Purwanto