Bermukim di Surabaya ternyata membawa inspirasi baru bagi mereka. Pasalnya, setiap mengunjungi tempat-tempat kuliner, mereka melihat antrean pembeli. Mereka jarang melihat tempat kuliner yang dikunjungi sepi. Tak salah bila banyak orang menyebut Surabaya sebagai “surganya” kuliner.
Budiono dan istrinya pun memberanikan diri mewujudkan mimpinya: membuka gerai soto. Karena ingin meneguhkan jati diri, mereka namakan Soto Pak Besar Khas Kraksaan Probolinggo.
(Baca: 7 Resep Murah Meriah Membangun Keluarga Sakinah dan Tipe-Tipe Warga Muhammadiyah versi Abdul Mu’ti)
Persiapan membuka gerai dirancang matang. Survei lokasi, bahan-bahan masakan, model gerai, dan lainnya. Jadwalnya, gerai sotonya di-launching 15 Oktober 2015. Namun di tengah persiapan, keduanya mendapat musibah. Budiano ambruk karena sakit batu ginjal. Sementara Lailatul Khairiyah mengalami kecelakaan hingga dirawat di RS Husada Utama Surabaya.
Ujian itu mereka lewati dengan kesabaran. Setelah pulih, gerai soto Pak Besar dibuka pada 1 November 2015. Rektor UM Surabaya Sukadiono, Wakil Ketua PWM Jatim Imam Robandi hadir dan ikut menikmati soto Pak Besar. “Pak Suko (panggilan karib Sukadiono) dan Pak Imam Robandi termasuk yang mendorong kami membuka usaha kuliner. Mereka sering kemari,” tutur Lailatul.
(Baca: Umat Islam Akan ‘Habis’ jika Tak Bangkit di Bidang Ekonomi dan Pimpinan Muhammadiyah Harus Sudah Tuntas Masalah Ekonomi)
Perempuan asal Aceh itu mengaku tudak melakukan promosi besar-besaran. Hanya kepada beberapa koleganya yang sempat mampir ke gerainya. Namun, lamat-lamat, nama soto Pak Besar mulai dikenal di Surabaya.
Suatu ketika, ada seorang perempuan peranakan Tionghoa, namnya Cik Lil datang ke gerainya. Sebelum makan dia memotret soto Pak Besar. Hasil jepretannya itu kemudian di-share di media sosial kuliner Surabaya. Beberapa hari kemudian, gerai Soto Pak Besar ramai dikunjungi pembeli.
“Bahkan, ada yang kelompok kuliner itu sempat mengadakan acara temu darat dengan memesan 300 porsi,” ungkap Lailatul.
(Baca: Inspiratif … Muhammadiyah Surabaya Barat Garap Bisnis Bersama dan Ketika Bendahara PWM Bertemu Mak Comblangnya)
Selain soto, mereka juga menyajikan rawon, tahun campur, nasi goreng, dan menu lainnya yang menggoyang lidah. Rata-rata menu dibandorol Rp 15-20 ribu per porsi.
Lailatul mengaku bersyukur, usaha kulinernya kini terus berkembang. Saban hari, dia bisa menjual sedikitnya 200 porsi. Hingga kini, dia belum berpikir untuk membuka cabang.
“Hampir 90 persen pelanggan saya orang Tionghoa. Di antara mereka ada yang menawari saya buka gerai di Galaxi Mall dan Pakuwon Trade Center. Ada juga pelanggan yang nawari buka di salah satu mal di Makassar,” pungkasnya. (agus wahyudi)