PWMU.CO – Kasus bunuh diri kian merebak di Indonesia. Seperti seorang pria paruh baya yang ditemukan tergantung di sebuah ayunan area taman Taman Puspa, di Desa Ngadilangkung, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Selasa (26/12/2023).
Di hari yang sama ditemukan juga seorang perempuan berusia 30 tahun meninggal gantung diri di rumahnya Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (26/12/2023).
Untuk memperoleh perspektif yang mendalam tentang fenomena itu PWMU.CO mewawancarai Direktur Pusat Layanan Psikologi dan Konseling (PLPK) Smamio Ika Famila Sari SPsi MPsi Psikolog. Berikut petikannya.
Apakah Bunuh Diri Diturunkan?
Ika menerangkan, sebetulnya yang diturunkan bukan bunuh dirinya. Tetapi risiko atau potensi seseorang mengalami masalah dengan kesehatan mental itulah yang diturunkan.
“Jadi memang kalau secara genetik ada anggota keluarga seperti orang tua atau kakek nenek yang memiliki masalah dengan kesehatan mental, maka secara genetik orang itu berpotensi lebih besar mengalami gangguan kesehatan mental nantinya ketika menghadapi masalah,” jelas psikolog lulusan Universitas Surabaya (Ubaya) itu.
Kalau ibu bermasalah saat kehamilan sehingga anak mengalami gangguan kesehatan mental itu bukan berarti karena diturunkan. Melainkan pada fase kehamilan, sang ibu memiliki hambatan psikologis.
Terkait hal ini, Ika menegaskan, “Hal ini juga berpengaruh. Kalau ibu stres ketika mengandung, anak juga berpotensi mengalami gangguan kesehatan mental.”
Selain itu, orang yang mengalami gangguan kesehatan mental biasanya juga dipengaruhi faktor pola asuh dalam keluarga. Ini sejalan dengan hasil penelitiannya ketika menempuh pendidikan S1 Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
“Saya meneliti tentang hubungan pemenuhan kebutuhan kasih sayang dalam keluarga dengan kecenderungan depresi. Waktu itu subjeknya remaja,” kenang Ika.
Hasil penelitiannya menunjukkan, “Kalau seorang anak tidak terpenuhi kebutuhan kasih sayangnya di dalam keluarga, maka dia berpotensi lebih tinggi mengalami kecenderungan depresi dibandingkan anak yang terpenuhi kebutuhan kasih sayangnya.”
Berdasarkan hasil telaah jurnal, Ika menemukan itu berkaitan langsung dengan depresi, bukan dengan stres (yang lebih ringan dari depresi).
Kalau anak terpenuhi kebutuhan kasih sayangnya di keluarga, anak merasa ada sosok yang mencintai dan selalu mendukungnya. Sehingga ketika ia mengalami masalah, mungkin dia akan merasa cemas dan tertekan tapi ketika ia memahami ada orang di belakangnya sebagai tempat bersandar, maka dia akan lebih kuat. Berbeda dengan anak yang tidak mendapatkan kasih sayang, merasa sendiri. Ketika dihadapkan pada masalah, dia akan merasa terkena masalah lagi dan tidak ada orang yang membantu dan menyayanginya.
Kondisi ini bisa terbawa sampai anak dewasa. Ketika menghadapi masalah, ia merasa tidak ada orang yang menyayangi nya sehingga cenderung mengalami hambatan atau masalah dalam kesehatan mental yang salah satunya bisa berujung pada bunuh diri.
Baca sambungan di halaman 2: Apakah Bunuh Diri Tidak Mengenal Jenis Kelamin?