Apakah Bunuh Diri Tak Mengenal Jenis Kelamin?
“Sebetulnya iya, tapi pada beberapa jurnal yang saya baca, kalau kita bicara kesehatan mental, pada laki-laki itu berpotensi lebih besar mengalami gangguan mental. Karena laki-laki lebih sulit mengekspresikan emosinya,” ungkap Koordinator Bimbingan dan Konseling SMA Muhammadiyah 10 (Smamio) GKB Gresik itu.
Beda dengan perempuan yang mudah bercerita atau curhat. Ketika perempuan bercerita, sebetulnya secara tidak sadar itu bentuk pelepasan emosi.
Sementara laki-laki jarang curhat dan mengekspresikan emosinya. Apalagi di negara dengan budaya seperti Indonesia, di mana ada stigma laki-laki tidak boleh menangis atau cengeng, tidak boleh lemah, dan harus kuat. Ketika stigma ini muncul, ketika laki-laki ada masalah maka cenderung merepress (memendam) apa yang dirasakan.
Cuma pada kasus yang meningkat belakangan ini, Ika menyatakan baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mengalaminya. “Namun kalau lebih banyak yang mana, saya belum baca,” ujarnya.
Merujuk penelitian BRIN pada 2012-2023 yang Ika baca, kasus kesehatan mental yang berujung pada bunuh diri di Indonesia itu banyak. “46,63 persen dilakukan oleh remaja atau ada 985 kasus, 48,28 persen dilakukan oleh lansia, dan 5,1 persennya tidak teridentifikasi,” paparnya.
“Di situ memang tidak disebutkan jenis kelaminnya. Yang pasti, ini menunjukkan kasus-kasus kesehatan mental bisa dialami oleh siapa saja dan tidak memandang laki-laki, perempuan, tua dan muda,” imbuh ibu dua anak itu.
Kenapa Kasus Bunuh Diri Merebak?
Ada banyak faktor yang mendorong kasus bunuh diri kian merebak. Salah satunya pengaruh media sosial. “Karena belakangan banyak medsos mengungkap kasus bunuh diri yang dilakukan remaja maupun orangtua. Sehingga kadang ketika orang berada pada posisi yang tertekan, merasa sendiri, ketika melihat berita seperti ini akhirnya memunculkan ide itu. Menjadikan inspirasi untuk orang dengan kondisi demikian,” imbuhnya.
Orang dalam kondisi tertekan tidak bisa berpikir dengan jernih. Banyak kasus bunuh diri, seperti juga pada kasus self harm pada remaja yang kini menyebutnya sebagai ‘barcode’.
“Barcode dulu dilakukan oleh orang yang benar-benar mengalami kondisi hambatan kesehatan mental, sehingga ada keinginan bunuh diri, menyakiti diri sendiri. Kalau sekarang, justru barcode jadi tren di kalangan remaja untuk dapat perhatian orang di sekitarnya,” imbuhnya.
Adapun pada kasus bunuh diri ini juga sama. Mau tidak mau, kata Ika, medsos juga berpengaruh memberi ide bagi orang dalam kondisi tertekan dan merasa tidak ada jalan keluar.
Baca sambungan di halaman 3: Bagaimana Tips Menghindari Bunuh Diri?