Pemilu: Ibarat Membeli Kucing Online oleh Sugeng Purwanto, Editor PWMU.CO
PWMU.CO – Sekarang sudah tidak zamannya lagi memilih capres-cawapres dan caleg seperti membeli kucing dalam karung.
Kenapa? Di era digital sudah tidak ada lagi orang yang jualan kucing dalam karung. Sekarang orang jualan kucing online.
Guyonan itu ditulis Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam akun X-nya. Menyebar di WA, Jumat (29/12/2023).
Bisa jadi joke itu mengena juga untuk menggambarkan suasana kampanye Pemilu 2024 ini.
Pinggir jalan selama bulan kampanye ini ibarat market place. Foto-foto caleg dan Capres-Cawapres dipajang di mana-mana. Juga di medsos, website, bahkan di tembok kampung.
Pembeli tinggal memilih barang. Tinggal cek kualitas dari penampilan, spesifikasi, pidato, track record. Ada yang bagus. Banyak yang gak jelas.
Makanya hati-hati memilih barang. Jangan menyesal ketika barang terbeli diantar kurir ke rumah ternyata isi tak sesuai kemasan.
Belinya bisa cash. Bayar dengan suara Anda yang didata by name by address oleh tim sukses. Dapat cash back 50 ribu atau 100 ribu rupiah.
Bisa juga beli COD. Bayar saat coblosan 14 Februari 2024. Dapat bonus bebas ongkir. Karena pas ada promosi Valentine Day.
Market place telah memberikan keuntungan triliunan yang mengalir dalam transaksi online. Begitu juga kampanye Pemilu 2024 telah mengalir banyak lembaran duit yang jelas, setengah jelas, dan siluman. Duit yang ada nomor serinya sampai tak berseri nomor.
PPATK telah mendeteksi itu. Tapi tak mau mengumumkan duit itu mengalir ke mana. Bawaslu pura-pura tidak tahu. KPU? Ah, Google saja bagaimana komentar para komisioner yang lucu-lucu.
Munculnya bisnis online mengakibatkan hancurnya bisnis tradisional. Banyak toko dan usaha sepi lalu bangkrut. Contohnya Kantor Pos, perusahaan taksi, toko spare part.
Pemilu ternyata juga membawa kerusakan dan kehancuran. Tak selaras dengan cita-cita demokrasi. Muncul pencurian suara, suap, transaksi, gejala kecurangan, survei pesanan, hilangnya etika, hukum dilanggar.
Partai politik yang katanya mewakili suara rakyat ternyata hanya berpikir keuntungan dan kekuasaan.
Ada koalisi ketua partai politik yang orangnya besar-besar itu kalah oleh anak kecil yang tak berpengalaman. Ketua partai hanya membebek. Seperti kebo dicucuk irunge. Manut ae.
Partai politik juga terbukti tak mampu melahirkan kader pemimpin. Saat pemilihan Capres-Cawapres jarang yang bisa menampilkan pemimpin sendiri. Malah mendukung pemimpin dari partai lain.
Dengan suasana politik yang rusak begini bisakah Pemilu melahirkan pemimpin yang membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Indonesia telah berusia 78 tahun. Sumber daya alam sangat kaya raya. Yang terjadi malah jarak kekayaan rakyat menganga lebar. Kekayaan alam dikuasai asing dan aseng. Akibatnya masalah ras sangat sensitif. Lalu merembet ke masalah agama.
Kata Bank Dunia, sepuluh persen orang Indonesia terkaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan di negeri ini.
Ada lagi yang bilang 1 persen orang terkaya Indonesia mendominasi 46 persen total kekayaan penduduk. Juga ada yang mengatakan kekayaan Indonesia hanya dikuasai 100 orang terkaya.
Orang-orang kaya itulah yang sekarang disebut para oligarki. Dengan uangnya menguasai para pejabat politik, pejabat hukum, pejabat pemerintahan. Undang-undang dibuat sesuai pesanan mereka. Konon katanya.
Lantas akankah Pemilihan Umum yang menciptakan budaya suap dan transaksional ini masih dipertahankan?
Melihat rusaknya budaya politik sekarang ini, kalau dibiarkan tak pelak sebentar lagi negeri ini bakal hancur.
Rakyat melongo, kekayaan alam dinikmati orang lain. Para pejabat hanya menjadi kacung.
Ada baiknya suara yang mengusulkan kembali ke UUD 1945 didengarkan. Pemilu liberal yang berlangsung selama Reformasi ternyata tak membawa kebaikan.
Konstitusi Indonesia itu tidak menganut paham demokrasi. Maksud sila keempat Pancasila bukan demokrasi. Tapi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Bukan one man one vote. Itulah yang dirumuskan oleh pendiri negeri ini.
Ketika dasar negara itu ditinggalkan oleh generasi sekarang yang penganut liberal terbukti rusak negeri ini. (*)