Memutar Arah Istana
Oleh Emha Ainun Nadjib *)
PWMU.CO – Makin banyak penduduk bumi yang takut masuk Indonesia. Sebab di pandangan mereka Indonesia yang ramah telah berubah keras, Islamnya dikuasai kaum radikal. Saya berpikir, kayaknya Nabi Muhammad saw harus turun tangan langsung ini. Masalahnya, bagaimana caranya untuk memungkinkan itu?
Saya ini diakui sebagai Muslim atau belum, sedang saya tunggu dan lacak petunjuk (hidayah) berupa tanda-tanda (ayat) dari satu-satunya pihak yang tahu siapa dan bagaimana sebenarnya saya, baik yang jahr (tampak) maupun yang sir (tersembunyi). Kepada “pihak” inilah saya patuh, ia yang memperjalankan hidup saya, karena ia pula yang berhak atas mati saya sewaktu-waktu.
(Baca: Cak Nun soal Budaya Politik Nasional: Pilih Celana atau Makanan; Korupsi atau Rasa Malu?)
Andaikan Tuhan mengakui bahwa saya Muslim yang tidak terlalu buruk, sehingga lumayan boleh mendekat kepada-Nya, maka saya akan nekad memohon agar Allah berkenan menghadirkan kembali Nabi Muhammad saw, kekasih utama-Nya, ke bumi. Satu dua bulan saja, atau seminggu lumayanlah. Kalau tidak ya beberapa jam saja cukup. “Wa kana dzalika ‘alallahi yasira”, hal itu mudah belaka bagi-Nya. Atas apapun saja Ia berkuasa.
Tapi sebenarnya, bukan karena dunia semakin takut kepada radikalisme Indonesia. Saya tidak sependapat. Sejauh ini Indonesia berjalan baik-baik saja segala sesuatunya. Indonesia segar bugar sehat walafiat: karena punya Pancasila, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Bhinna-nya Tunggal, bangsanya adil dan beradab, serta sudah mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kepentingan saya adalah permasalahan dan penyakit dunia itu sendiri. Kalau Muhammad turun tangan, dunia dilimpahi syafaat dan solusi oleh hak prerogatifnya di hadapan Allah, untuk memungkinkan segala sesuatu yang tidak mungkin.
Ternyata pikiran saya itu mengandung tiga kesalahan besar. Pertama, dunia tidak merasa sedang sakit atau ditimpa masalah besar. Kedua, dunia berpendapat justru Muhammad saw adalah biangnya permasalahan dunia. Dan ketiga, Tuhan menyatakan: ”Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah mereka dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa’at selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya..”
(Baca: Ini Kata Cak Nun: Indonesia Makam Pancasila)
Ternyata manusia di abad 21 ini sudah melakukan sesuatu pada tingkat yang hanya syafaat Allah sendiri yang bisa menolong. Syafaat Rasul Muhammad tidak cukup. Tapi saya berspekulasi: yang penting Rasulullah hadir saja. Cukup datang saja sebagai manusia dengan kelembutannya, kesantunan dan kebijaksanaannya.
Ah, tapi apa efektif. Justru dunia berpendapat bahwa kalau ada makhluk yang lembut, santun dan bijaksana, itu pasti bukan Muhammad. Dunia mencatat bahwa Muhammad adalah Kaisar Terorisme, Panglima Kekejaman, Dedengkot Radikalisme dan Biang Intoleransi. Itu yang menyebabkan dunia sangat bahagia kalau Islam hancur dan lenyap dari bumi. Banyak sahabat yang mengumumkan keyakinannya bahwa Islam berada di tepi jurang kehancuran. Tinggal selangkah lagi untuk benar-benar hancur. Tanda dan buktinya sudah berlimpah-limpah.
Oke kalau begitu saya tawar opsi saya. Cukup Allah menampakkan wajah Muhammad di layar langit, bergeser-geser di sejumlah wilayah angkasa. Wajahnya, aura cintanya, sebaran kasih sayangnya, magnet pengayoman yang menembus kalbu setiap orang. Cukup beberapa menit saja di beberapa region di lingkaran bumi.
(Baca: Cak Nun tentang Lomba Ajal di Gerbang Perubahan, Ada Peristiwa Besar pada 26 Agustus 2017?)
Hahaha. Lebai-lah. Dunia tak akan menyimpulkan bahwa itu wajah Muhammad. Sepengetahuan mereka Muhammad itu airmukanya garang, matanya melotot, dan mungkin giginya bersiung seperti serigala. Kan juga tidak ada yang tahu persis wajah Adam, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Musa atau Isa. Apalagi jelas Muhammad melarang wajahnya digambar. Kalau muncul wajah lembut di langit, setiap orang akan meyakini bahwa itu adalah wajah tokohnya masing-masing. Mungkin Satrio Piningit, Ratu Adil, atau siapapun.
Sebagian orang Islam mungkin berkesimpulan itu adalah wajah Imam Mahdi. Kan setahu mereka Muhammad sudah wafat di Madinah pada 8 Juni 632-M. Sedangkan pemahaman manusia abad 21 tentang kehidupan dan kematian, juga tentang ruang dan waktu — sangat teknis, linier dan datar. Muhammad diyakini sudah tidak ada jasadnya dan tak lagi berwajah. Sudah men-tanah.
Baiklah. Saya ubah permohonan: Baginda Nabi Klidlir saja yang datang, tapi ke Indonesia, untuk bikin a big shocking kepada dunia. Mengingat tanah air Indonesia adalah gumpalan tanah sorga yang jatuh ke bumi. Juga manusia dan bangsa Indonesia dianugerahi Allah ‘fadhilah’ sangat khusus, di mana kadar potensialitas ke-Malaikat-annya serta ke-Idajil-annya sangat tinggi dan seimbang. Kalau Khidlir yang datang, agak lebih rasional, karena sampai saat ini belum pernah ada informasi mengenai kewafatan beliau. Juga beliau mestinya bisa menambah hiburan dan sensasi yang kreatif innovatif.
Memang mungkin tak seorangpun yang akan mengetahui bahwa yang datang secara ajaib itu adalah Baginda Khidlir. Sebab tidak ada database yang memadai tentang beliau. Baginda Khidlir adalah ‘pendekar bayangan’ yang hampir selalu berkerudung. Wilayah wajahnya selalu remang-remang. Tidak pernah ada kabar apakah Nabi Musa pernah benar-benar jelas melihat wajahnya. Bahkan tatkala Nabi Musa dinilai tidak lulus mengikuti pelajaran, dan Baginda Khidlir mengucapkan “hadza firoqun baini wa bainak”, ini adalah saat perpisahan antara aku denganmu – tiba-tiba saja sosok beliau sudah sirna dari pandangan Nabi Musa.
(Baca: Keterjebakan Politik Identitas dan Harapan Cak Nun pada Muhammadiyah)
Tetapi, interupsi sebentar: Nabi Besar, istimewa, kalimullah, juru bicara Allah, ulul ‘azmi, tidak lulus di kelas Khidlir? Ya. Ada tiga tindakan Guru Khidlir yang dipertanyakan dan diprotes oleh Musa AS, dan itu membuatnya tidak lulus. Sebab perjanjiannya adalah Khidlir bersedia menjadi Guru Musa dengan syarat ia tidak boleh bertanya. Tentu ini bertentangan dengan prinsip pembelajaran modern di mana kemampuan bertanya justru merupakan busur utama kreativitas ilmu.
Pertama mereka berdua menumpang kapal, tiba-tiba Khidlir merusak dinding kapal itu sehingga bocor dan oleng. Kedua Khidlir mencekik leher seorang anak kecil sehingga mati. Ketiga Khidlir memperbaiki dan menegakkan pagar di rumah seseorang dan tidak meminta upah atas pekerjaannya itu. Merusak kapal itu kekinian, karena saat itu juga Khidlir bermaksud menyelamatkan kapal niaga itu dari perampokan yang menjadi tidak tertarik karena sudah rusak. Mencekik anak kecil itu masa depan, karena alasan anak itu dibunuh adalah kelak ia akan menyebarkan radikalisme, fundamentalisme dan terorisme karena kehebatannya. Pagar yang ditegakkan adalah masa silam, karena di bawa pagar itu ada simpanan harta, yang dilindungi oleh Khidlir agar generasi muda di wilayah itu kelak bisa mendayagunakannya.
Terserah apakah Nabi Musa pernah berpikir tentang managemen siklus masakini-masadepan-masa silam, masakini-masadepan-masasilam. Tapi kalau beliau Khidlir hadir ke Indonesia, pamrih saya adalah previlese dari Allah kepada beliau. Tidak seorang Nabi atau Rasulpun yang oleh Allah diberi hak untuk berhak merusak kapal dan membunuh anak kecil, dengan motivasi yang merupakan rahasia berdua Allah dan Baginda Khidlir.
(Baca: Blak-blakan Cak Nun soal Kondisi Indonesia: Tinggal Ditolong Tuhan apa Tidak…)
Saya pernah memotret jejak telapak tangan Baginda Khidlir di salah satu tiang bangunan raksasa Hagia Sophia atau Aya Sophia, Istanbul, Turki, yang sebelumnya adalah Gereja. Khidlir dengan tangannya dicengkeramkan pada tiang bangunan yang ketika itu difungsikan sebagai Masjid, memutar seluruh bangunan itu hingga menghadap Ka’bah di Mekah. Foto itu saya simpan seperti jimat, karena di gambar foto itu tidak ada goresan telapak tangan Khidlir, melainkan gambar Gong atau Bonang kumuh berwarna kuning kecoklat-coklatan seperti bonang Kiai Kanjeng.
Saya tidak muluk-muluk. Tak perlu Khidlir menukar Istana Netanyahu dengan Istana Erdogan, menukar Gedung Putih dengan Istana Kremlin. Atau terbang meniup pucuk Gunung Merbabu supaya keluar asapnya, agar orang tahu mer-Babu-Hawa dan Ibu Pertiwi tetap hidup. Sekalian dimunculkan Gunung baru di daerah Kebumen, yang sudah lama menunggu-nunggu. Sederhana saja yang saya inginkan. Sebagaimana Hagia Sophia, Tuan Khidlir mohon berkenan memutar bangunan Istana Negara ke arah Utara. []
*) Emha Ainun Nadjib, budayawan.