Tetap Simpatik kepada Lawan Politik, Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah dan sepuluh judul lainnya
PWMU.CO – Performa kita, harus sama kepada semua orang tanpa kecuali. Kita harus bisa meraih respek dari orang lain karena sikap simpatik kita.
Teladanilah tokoh bangsa, Pahlawan Nasional, antara lain Natsir dan AR Baswedan (keduanya lahir di tahun yang sama yaitu 1908). Sekalipun berbeda pemikiran dan konsep dengan lawan-lawan politiknya, mereka tetap menjaga persahabatan.
Natsir (1908-1993) adalah salah satu pendiri negeri ini. Dia punya jasa sangat besar lewat Mosi Integral-nya sehingga layak disebut Bapak NKRI. Dia Perdana Menteri yang pertama, 1950-1951. Dia, salah seorang pemimpin Islam terkemuka dan di kemudian hari dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Di antara hal menarik pada diri Natsir, bahwa perbedaaan politik dengan pihak lain tak menyebabkannya berubah sikap sebagai sahabat di keseharian. Natsir tetap bisa berkawan dekat dengan siapa saja, termasuk dengan mereka yang berbeda ideologi bahkan agama.
Lihatlah, Natsir yang tetap akrab dengan Aidit – gembong PKI. Memang mereka berdebat keras di Konstituante, tetapi di luar itu keduanya dapat minum kopi sama-sama. Hal serupa, Natsir akrab dengan Ignatius Joseph Kasimo (salah satu pendiri Partai Politik Katolik Indonesia [PPKI]) dan Johannes Leimena (salah seorang pendiri Partai Kristen Indonesia [Parkindo]).
AR Baswedan Jempolan
Sekarang perhatikan AR Baswedan (1908-1986), salah seorang pendiri negeri ini. Dia aktivis pergerakan kemerdekaan. Dia salah seorang anggota BPUPKI. Di antara jasa besarnya, dia bisa membawa masuk Indonesia dengan selamat dokumen sangat penting berupa pengakuan atas kedaulatan Indonesia dari beberapa negara Arab. Dia, di kemudian hari, dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Seperti Natsir, AR Baswedan tak menjadikan perbedaaan politik sebagai sebab retaknya hubungan dengan pihak lain. Dia tetap bisa bersahabat dengan siapa saja, termasuk mereka yang berbeda pemikiran. Dia tetap nyaman bergaul dengan lawan politiknya.
Simaklah, saat AR Baswedan (nama singkat dari Abdul Rahman Baswedan) menjadi Wakil Rakyat di Jakarta. Jika ada persidangan parlemen, dia lebih suka tinggal sekamar di hotel yang disediakan panitia dengan politikus dari kalangan komunis. Bagi kebanyakan orang, bisa jadi sikap seperti itu tak lazim. Rata-rata orang, lebih memilih teman sesama partai. Begitu juga ketika memilih surat kabar, AR Baswedan mendahulukan Harian Rakyat – koran Partai Komunis Indonesia.
Tentu bukan tanpa maksud bila AR Baswedan melakukan dua tindakan “aneh” tersebut. Ada hikmah, bahwa lewat hasil bergaul dan membaca itu, AR Baswedan paham betul bagaimana partai komunis melakukan pengorganisasian dan pengkaderan.
Siapa Pemarah
Bagaimana situasi kini, di tahun politik, 2024? Bagaimana dengan performa sebagian tokoh terutama yang sedang mengikuti kontetasi pemilihan presiden (pilpres)?
Sayang, ada yang sama sekali tak menunjukkan sikap dewasa dalam berbeda pendapat. Ada yang tak menjadikan sikap positif dari tokoh-tokoh pendiri bangsa sebagai teladan yang baik.
Cermatilah, ada yang menganggap tak cukup perbedaan pendapat selesai di panggung debat capres. Kemudian, untuk selanjutnya, bersikap biasa lagi di luar itu. Kembali kepada suasana persahabatan bahkan persaudaraan.
Sayang, tampaknya ada yang tak puas di debat capres dan lalu mengobral sikap tak suka di depan pendukungnya sendiri. Lihat, berita 8 Januari 2024: “Prabowo Marah Lagi, Disindir Kepemilikan Lahan: Dia Pintar atau Goblok Sih?” Berita itu adalah rentetan dari debat capres yang kali kedua.
Sementara, menyusul Debat Capres yang kali pertama, ada juga peristiwa yang serupa. Bahwa, pada 15/12/2023, Prabowo berpidato di depan banyak kadernya.
Kala itu Prabowo menirukan lawannya dalam debat tiga hari sebelumnya yang bertanya soal etika. “Bagaimana perasaan Mas Prabowo, soal etik, etik, etik. Ndasmu etik,” ujar Prabowo.
Kita bisa melihat ekspresi Prabowo saat mengucapkan hal di atas. Juga, dapat merasakan intonasinya. Ada kesan meremehkan. Siapa yang diremehkan? Banyak yang percaya, yang direndahkan dengan umpatan itu adalah lawannya di debat capres.
Agar Beruntung
Tetap bersikap simpatik kepada lawan politik adalah perilaku yang dewasa. Setajam apapun perbedaan pendapat, hubungan baik sebagai sesama harus tetap kita rawat.
Sikap simpatik dapat berkontribusi dalam usaha semua pihak memelihara keharmonisan sebagai sebuah bangsa. Untuk itu, tetaplah memperlihatkan rasa hormat kepada lawan politik. Jadilah tokoh yang layak memimpin negeri besar ini karena telah memberikan teladan yang baik bagaimana seharusnya mengelola perbedaan pendapat.
Bersikap simpatik kepada lawan politik bisa mengundang iklim yang sehat, yaitu terbangunnya tradisi dialog bahkan debat yang baik. Mari, adu gagasan. Mari, ketengahkan ide-ide konstruktif.
Dulu, pendiri bangsa ini biasa berada dalam situasi pertukaran pemikiran. Setelah sesi itu selesai, suasana kembali cair. Tak ada dendam. Tak ada kata-kata kasar. Malah, mereka minum kopi atau teh bersama.
Dengan tak mengedepankan emosi, hal ini bisa menjadi jalan agar masyarakat tak terjebak dalam keterbelahan yang merugikan. Jika kita bisa menunjukkan sikap simpatik kepada lawan politik, hal itu dapat membangun kepercayaan publik. Kita akan punya citra sebagai sosok yang siap menerima perbedaan pendapat sekaligus siap pula bekerja sama dengan pihak manapun. Hal itu, sangat bagus dalam membangun negeri.
Sungguh, kita akan sangat diuntungkan jika memiliki pemimpin yang siap berbeda pendapat. Akan untung, jika mempunyai pemimpin yang tetap simpatik kepada siapapun termasuk terhadap lawan politik. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni