PWMU.CO – Memilih pemimpin di pemilu, warga Muhammadiyah wajib ikuti panduan dari Munas Tarjih tahun 2003 di Padang, Sumatera Barat.
Hal tersebut dikatakan Dr H Agung Danarto MAg dalam Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, yang disiarkan secara live via aplikasi Zoom dan YouTube Muhammadiyah Channel, Jumat (27/1/24).
Menurut Ketua PP Muhammadiyah, itu Munas Tarjih tahun 2003 di Padang, sudah memberikan arahan, kriteria, kira-kira pemimpin seperti apa yang akan dipilih warga Muhammadiyah. “Paling tidak ada tujuh kriteria yang diputuskan dalam munas tarjih tersebut,” ujarnya.
Pertama adalah integritas atau dalam bahasa kita disebut sidik. Integritas itu adalah orang yang satu kata, antara lisan dan perbuatan, semua omongannya konsisten. “Tidak isuk dele, sore tempe, tapi memiliki integritas, antara apa yang diucapkan dibuktikan dengan perbuatan,” ujarnya.
Tentu, lanjut dia, nilai ini akan dicapai karena dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan. “Itu kriteria yang pertama, integritas atau sidik, dialah yang membela kebenaran dan kebaikan,” paparnya.
Ancaman Disintegritas
Kedua, kata dia, harus memiliki kapabilitas yakni mempunyai kemampuan untuk memimpin Indonesia. Inilah yang mungkin disebut amanah atau termasuk mampu menjalankan tugas yang dibebankan ke mereka. “Jadi bukan hanya mau melaksanakan, fokus, punya waktu, tapi juga punya kapabilitas untuk menjalankan kepemimpinannya,” tuturnya.
Indonesia ini, sambungnya, merupakan negara besar, multi etnis, agama, serta berbagai macam suku-bangsa, dan lain sebagainya ada di Indonesia. “Makanya, kalau tidak hati-hati memilih pemimpin yang punya kapabilitas yang cukup, maka Indonesia punya potensi untuk disintegrasi dan lain sebagainya. Sehingga pemimpin dibutuhkan kapabilitas untuk memimpin, sekaligus menyejahterakan rakyat,” terangnya.
Ketiga adalah populis, seorang pemimpin harus punya jiwa kerakyatan dan mengutamakan kepentingan rakyat. Jadi seorang pemimpin dia berusaha semaksimal mungkin mengedepankan kepentingan rakyat untuk kemakmurannya, kesejahteraannya, kemajuan rakyat, fokusnya kepada itu.
“Jika dibahasakan dengan sifat nabi, ini adalah tabligh, yakni berorientasi untuk bagaimana risalah Islamiyah itu sampai pada umatnya, bukan hanya diceramahkan, tetapi juga sampai diamalkan dan dipraktikkan. Sehingga menjadi rahmatan lil alamin,” ungkapnya.
Keempat adalah visioner, yakni memiliki visi yang strategis untuk membawa kemajuan bangsa. Kecerdasan inilah kalau dalam sifat nabi kita sebut dengan fathanah.
“Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan, sehingga dengan kecerdasannya tersebut dia memiliki strategi-strategi tertentu, khusus, untuk melakukan percepatan dalam rangka untuk memajukan bangsa,” imbuhnya.
Kelima berjiwa negarawan, menomorsatukan kepentingan negara di atas pribadi dan kepentingan golongan, suku, agama, dan lain sebagainya, sehingga kepentingan negaralah yang dinomorsatukan.
Memimpin adalah Kehinaan
Keenam, mampu menjalin hubungan internasional. Ini kaitannya dengan saat ini dunia yang menjadi global village, sehingga interaksi antar bangsa dan negara menjadi sesuatu keharusan, sehingga Indonesia tidak boleh terpencil dari dunia internasional.
Ketujuh memiliki jiwa reformis, yakni memiliki jiwa untuk selalu melakukan pembaruan-oembaruan terhadap berbagai hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
HR Abu Dzar al-Ghiffari dari Shahih Muslim, Nabi bersabda, sesunggunya kepempimpinan itu amanah, dan sesungguhnya kepemimpinan itu di hari kiamat merupakan kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang-orang yang mendapatkannya dengan cara yang hak, dan dia menunaikan kewajiban-kewajiban atas kepemimpinan tersebut.
“Sehingga karenanya ini diingatkan, ketika banyak yang ingin jadi pemimpin tetapi kepemimpinan itu berat, kalau mengambilnya tidak dengan jalan yang baik, dan tidak dapat melaksanakan dengan baik, maka itu merupakan sebuah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat,” ucapnya. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.