PWMU.CO – Pernyataan presiden boleh kampanye, boleh berpihak mendapat sorotan dari Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari sudut pandang hukum maupun etika.
Dalam rilisnya Ahad (28/1/2024), Ketua Majelis Hukum dan HAM Dr Trisno Raharjo SH MHum mengatakan, Muhammadiyah memandang penting masalah ini untuk menjaga nalar demokrasi agar tidak diseret sesuka hati elite politik berdasarkan kepentingannya.
Trisno menyampaikan, pernyataan Presiden Joko Widodo itu tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif juga harus dilihat dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.
Pertama, menurut Trisno, dari sudut pandang normatif adalah benar pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan Presiden dan Wakil Presiden berhak melaksanakan kampanye.
Namun demikian ketentuan pasal 299 ayat (1) UU Pemilu ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
Dia mengatakan, pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
”Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan menegasi kontestan lainnya?” kata Trisno.
Dengan demikian, sambung dia, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa presiden dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri.
Kedua, dari sudut pandang filosofis. Presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat. Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu.
”Presiden berkewajiban memastikan penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang berintegritas,” tuturnya.
Sebuah jabatan publik terlebih presiden yang merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi.
Pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu sehingga seharusnya memang tidak ada aktivitas lain selain aktivitas yang melekat pada jabatan.
Berdasarkan hal di atas, kata dia, maka secara filosofis posisi presiden adalah pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan untuk semua kontestan.
”Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat,” ujarnya.
Ketiga, dari sudut pandang etis dan teknis. Sumpah jabatan penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada Pancasila dan UUD.
”Kesetiaan ini harus diwujudkan dalam segala aktivitasnya. Meskipun presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi presiden, dirinya wajib tunduk pada rakyat bukan pada partai politik pengusung,” katanya.
Di luar itu, kata dia, Joko Widodo selalu dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun. Bahkan aktivitas keseharian yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan sekalipun.
Oleh karenanya, penyelenggaraan pemerintahan seperti pembagian bantuan sosial akan secara langsung maupun tidak langsung “dianggap” oleh sebagian masyarakat sebagai “bantuan Jokowi”.
Faktanya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan dari presiden dan sebagian menterinya untuk memosisikan “bantuan sosial” ini sebagai “bantuan Jokowi”.
Berdasarkan hal-hal di atas, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah perlu menyatakan sikap sebagai berikut
- Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.
- Meminta kepada presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara.
- Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
- Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitivitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.
- Menuntut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu.
- Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu.
- Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekedar mengkalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya. Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara.
- Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan Pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara.
Editor Sugeng Purwanto