Panglima Bersenjata Kata-Kata dan Etika; Kolom oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – Tanggal 29 Januari 2024, genap 74 tahun bangsa Indonesia kehilangan tokoh besar teladan dalam kepemimpinan nasional, Jenderal Soedirman. Namanya kini terukir untuk kawasan bisnis strategis: Sudirman Central Business District (SCBD) di Jakarta, sekelas Wall Street di New York Amerika Serikat.
Menjelang akhir hayatnya, mendiang banyak menghabiskan waktu berjihad di medan tempur, namun takdir maut menjemputnya di tempat tidur.
Kemahirannya memimpin perang mengingatkan pada sosok pahlawan Islam Khalid bin Walid yang juga syahid di tempat tidur.
Riwayat pendidikan formalnya tidak tinggi, hanya setingkat SLTP, saat lanjut ke sekolah guru setingkat SLTA protol karena kehabisan biaya, dampak kemiskinan dan penjajahan.
Pendidikan militer yang dijalani juga sekelas kursus selama tiga bulan saja. Pendidikan informalnya di kepanduan Hizbul Wathan yang diyakini membentuk karakter kepemimpinan serta kecerdasan berpikir dan bicara di depan umum.
Bekal tersebut mampu mengantarkannya dipercaya menjadi pengajar, guru, hingga menjadi mantri guru atau kepala sekolah di perguruan Muhammadiyah.
Bakat kepemimpinannya sempat dimanfaatkan pemerintah pendudukan Jepang memimpin satuan Pembela Tanah Air (Peta). Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, kesetiaan dan kemampuan militernya beralih untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945.
“Dalam sakitnya yang parah, dia mengumumkan maklumat perang dan memimpin sendiri perang gerilya selama tujuh bulan sampai Juli 1949 menjelang Konferensi Meja Bundar.”
Prinsi Menang tanpa Ngasorake
Pengalaman dan kebersamaan bersama bala tentara Jepang selama menjadi sukarelawan Peta menjadikannya mudah berkomunikasi dengan pihak Jepang. Persenjataan Jepang dalam jumlah besar bisa didapatkan untuk para pejuang tanpa kekerasan fisik.
Berpegang pada falsafah Jawa “menang tanpa ngasorake” membuatnya diabadikan oleh Kementerian Pertahanan Jepang sebagai salah satu didikan Jepang yang sukses.
Prestasinya memasok senjata untuk para pejuang dalam jumlah besar sebagai “ghanimah“, pampasan perang tanpa kekerasan membuat namanya harum di kalangan pejuang kemerdekaan.
Dalam pemilihan Panglima Besar pada 12 November 1945 untuk menghadapi tekanan sekutu yang semakin masif, namanya terpilih dengan suara terbanyak meskipun usianya terbilang sangat muda, 29 tahun. Pangkatnya meroket dari Kolonel menjadi Letnan Jenderal setelah resmi dilantik Presiden Sukarno sebagai Panglima Besar Angkatan Perang pada 18 Desember 1945.
Beragam pertempuran dimenangkan dalam kepemimpinannya yang legendaris. Salah satunya adalah Palagan Ambarawa. Puncak ujian kepemimpinannya yaitu pada waktu menghadapi Agresi Militer Belanda II tanggal 18 Desember 1948.
Dalam sakitnya yang parah, dia mengumumkan maklumat perang dan memimpin sendiri perang gerilya selama tujuh bulan sampai Juli 1949 menjelang Konferensi Meja Bundar.
Baca sambungan di halaman 2: Tentara Beretika