Contoh Kasus UU Rumah Sakit
Seperti ketika DPR mengesahkan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. “Muhammadiyah gagal menolak pasal tentang perizinan. UU ini mengatur badan hukum yang boleh diberi izin mengelola RS hanya badan hukum yang khusus bergerak di bidang perumahsakitan,” ujarnya. Pasalnya, puluhan rumah sakit milik Muhammadiyah berbentuk amal usaha.
PP Muhammadiyah sudah berusaha menolak pasal yang berdampak buruk kepada RS Muhammadiyah itu. “Tapi apa daya, tak ada dukungan di parlemen. Tidak ada kader Muhammadiyah yang bisa diminta mengawal di Senayan sehingga UU itu kemudian disahkan DPR,” kenangnya.
Sejak UU itu disahkan, Prof ZM mengungkap, 78 RS Muhammadiyah tidak bisa memperpanjang izin. “Tidak ada pilihan lain lagi, maka PP Muhammadiyah memutuskan untuk mengajukan gugatan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK),” terangnya.
Salah satu dampak yang Muhammadiyah alami karena UU Rumah Sakit tersebut ialah Kepala dinas kesehatan tidak mau memberikan izin kepada Muhammadiyah untuk perpanjangan izin praktik rumah sakit. Karena pihak Dinkes juga takut kena sanksi kalau kasih izin ke rumah sakit non-profit nanti mereka dianggap melanggar UU.
Gugatan PP Muhammadiyah terhadap UU tersebut ke MK diwakili Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, Prof Dr M. Din Syamsuddin dan Ketua Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat PP Muhammadiyah Prof Syafiq A. Mughni. Beruntung, Ketua MK saat itu Hamdan Zulfa memenangkan gugatan PP Muhammadiyah.
MK merevisi pasal yang hanya membatasi Badan Hukum yang bergerak di bidang perumahsakitan dengan mengeluarkan keputusan No. 38/PUU-XI/2013 yang mengizinkan organisasi non-profit juga bisa diberi izin mengelola rumah sakit. “Dengan keputusan MK itu Muhammadiyah bisa bernafas lega, RS Muhammadiyah memperoleh payung hukum,” ujar Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2015-2022 itu.
Lobi dan Kerja Politik Praktis
Saat trauma terkena pasal yang merugikan rumah sakit Muhammadiyah itu belum hilang, Prof ZM menghadapi kenyataan terkait RUU Kesehatan yang dibahas DPR tahun 2023. “Ternyata ada pihak yang berkepentingan untuk memunculkan kembali pasal yang mengatur pengelola rumah sakit harus berbadan hukum tersendiri,” ujarnya.
“Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi kesehatan dr Agus Taufiqurrahman mengingatkan saya untuk mencegah disahkannya bunyi pasal itu,” kenangnya.
Prof ZM masih ingat saat dr Agus mengatakan, “Pasal itu merugikan persyarikatan Muhammadiyah. Lagi pula bertentangan dengan keputusan MK No. 38/PUU-XI/2013. Nderek titip saestu nggih Prof, UU Kesehatan omnibus meniko, sungguh titip ya Prof, mengenai UU Kesehatan ini.”
“Saya di Badan Legislasi DPR bersama Saleh Partaonan Daulay, mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, yang di Komisi IX, tentu saja tidak menginginkan pasal itu. Ketentuan yang berpotensi merugikan Muhammadiyah itu sempat berhasil muncul di pasal 185 ayat (3) yang menyatakan Rumah Sakit yang didirikan oleh masyarakat harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang pelayanan kesehatan. Pasal ini jelas tidak menguntungkan Muhammadiyah,” sambungnya.
Sadar sebagai petugas misi Muhammadiyah di parlemen, Prof ZM tidak membiarkan pasal yang berpotensi mematikan RS Muhammadiyah itu disahkan. Dia melakukan lobi dan kerja politik praktis.
Upayanya pun membuahkan hasil dengan berhasil dimasukkannya pasal 185 ayat (4). Bahwa Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh badan hukum yang bersifat nirlaba.
“Di sinilah menurut hemat saya letak urgensi dari apa yang pernah dipesankan oleh almarhum Prof Bachtiar Effendi agar Muhammadiyah memiliki amal usaha di bidang politik,” imbuhnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni