Prof Fuad Amsyari: Ilmuwan dan Pejuang Sejati yang Tak Takut Mati

Prof Fuad Amsyari: Ilmuwan dan Pejuang Sejati yang Tak Takut Matii (Foto antaranews.com)

Prof Fuad Amsyari: Ilmuwan dan Pejuang Sejati yang Tak Takut Mati; Oleh Dr Abdul Rahem MKes, Apt, Dosen Fakultas Farmasi, Ketua Pusat Halal Universitas Airlangga, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia.

PWMU.CO – Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kaget! Pertama membaca berita di beberapa WhatsApp (WA) group pada tanggal 29 Januari 2024 sekira pukul 09.00, Prof dr Fuad Amsyari MPH PhD telah pergi untuk selamanya. Tersentak rasanya ketika membaca. Seolah tidak percaya atas kepergiannya menghadap Sang Mahakuasa. Betapa tidak, beberapa waktu sebelumnya saya sempat bertemu beliau di Masjid Nuruzzaman Unair Kampus B, seusai shalat Jum’at. 

Ketika bertemu setelah shalat Jum’at, masih seperti biasa. Beliau memberikan pesan-pesan yang segar dan inovatif. Pesan berbentuk motivasi kepada saya selaku muridnya. Beliau berpesan, “Jangan berhenti untuk berdakwah, di mana pun sampai kapan pun. Selagi masih diberi umur panjang, dan jadilah ilmuwan yang jujur dan berintegritas,” begitu pesan beliau. Kata-kata itu sering saya dengar darinya.

Saya memang muridnya, karena almarhum adalah pembimbing utama saya ketika menempuh pendidikan S2 dan juga sebagai co-promotor ketika menempuh pendidikan S3. Bahkan saya menjadi mahasiswa S3 terakhir sebagai bimbingan almarhum sebelum memasuki masa pensiun. 

Setidak-tidaknya sekitar tujuh tahun (akhir tahun 1998 sampai awal tahun 2006) saya menjadi murid langsung dari almarhum dalam pendidikan formal. Sementara dalam pendidikan non-formal, saya merupakan muridnya sejak awal menjadi aktivis di Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) Universitas Airlangga (Unair)pada akhir tahun 1986. 

Mujahid Tak Takut

Saya mengenal Pak Fuad—begitu biasa saya memanggil—kali pertama ketika menjadi khatib di Masjid Universitas Airlangga (saat ini bernama Masjid Nuruzzaman) di awal-awal saya kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Isi khotbahnya sangat menarik dan sesuai dengan fenomena yang terjadi di masyarakat ketika itu. Sejak itulah saya merasa tertarik untuk menghadiri kegiatan-kegiatan kajian keislaman yang beliau sampaikan. 

Ceramahnya yang sangat lugas, dan mengajarkan pada kita untuk tidak takut pada siapa pun dalam menyampaikan syiar Islam, kecuali takut kepada Allah. Sehingga saya berpersepsi beliau adalah seorang pejuang atau mujahid yang tidak takut mati, karena di mana pun beliau berceramah, nadanya selalu sama walaupun di hadapan penguasa.

Sejauh pengamatan dan pengalaman saya sebagai aktivis masjid kampus, beliau termasuk orang yang gampangan, ringan tangan terutama ketika dimintai tolong secara mendadak menggantikan khatib Jum’at, jika khatib yang terjadwal berhalangan. Atau, ketika diminta menjadi narasumber secara mendadak. Beliau selalu bersedia, jika tidak bersamaan dengan kegiatannya yang sudah terjadwal. Tentu ini menjadikan para aktivis senang dan bangga padanya, mengingat yang paling menyulitkan dan memusingkan para aktivis ketika penceramah tidak datang sementara kegiatan harus tetap berlangsung.

Ada pengalaman menarik ketika saya menjadi Ketua UKKI Unair. Kala itu, kami merealisasikan rencana kegiatan Pekan Muharam yang di dalamnya terdapat agenda Seminar Nasional Suksesi Kepemimpinan Nasional. 

Para tokoh yang diundang menjadi narasumber adalah: Gubernur Lemhanas Letjen Sayidiman S, Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid, dan KH Yusuf Muhammad. Rencanya, seminar nasional itu diadakan pada tanggal 29 Juli 1990. 

Semua persiapan telah dilaksanakan dengan baik. Namun demikian, hal yang menjadi persoalan adalah tema suksesi kepemimpinan nasional. Tema ini sempat mendapat teguran dari beberapa pihak karena pada saat itu merupakan hal yang sangat tabu untuk dibicarakan. Mengingat, Presiden Soeharto pada tahun-tahun tersebut masih sangat kuat posisinya. 

Setelah rencana kegiatan seminar ini tercium oleh pihak kepolisian, kami dicari oleh anggota polisi dari Polda Jatim. Intinya, kami diminta menjelaskan rencana tersebut beserta segala alasan detailnya. 

Gantikan Gus Dur

Tepat pada hari pelaksanaan, persiapan telah dilakukan dengan baik. Aula Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga pun penuh dengan peserta yang hadir. Bahkan, banyak peserta yang rela berdiri di deretan samping  maupun belakang. 

Hal yang mengagetkan, peserta tidak sepenuhnya mahasiswa dan masyarakat umum. Banyak di antara peserta, tampak seperti anggota polisi yang tidak berpakaian seragam. 

Hanya saja, kegiatan tersebut diwarnai dengan pencekalan terhadap KH Abdurrahman Wahid. Pagi hari pelaksanaan sekitar pukul 07.30 WIB, sebelum acara dimulai, datang seorang kurir mengantarkan surat tulisan tangan, yang ditulis langsung oleh KH Abdurrahman Wahid. Surat tersebut menyatakan bahwa beliau tidak dapat datang ke seminar karena adanya halangan mendadak. Pada surat tersebut tertera, Juanda, pagi hari tanggal 29 Juli 1990. Artinya, Gus Dur, sapaan beliau, telah sampai di Surabaya. 

Kembali ke acara. Panitia sempat berpikir dan mencari siapa pengganti Gus Dur yang representatif dalam acara tersebut. Akhirnya, kami menghubungi Pak Fuad Amsyari untuk diminta mengganti Gus Dur. Alhamdulillah beliau bersedia, tetapi beliau meminta untuk dijadikan pembicara terakhir. Konsistensi beliau untuk selalu bersedia menjadi pembicara dadakan inilah yang melekat pada pribadinya. 

Hal yang menarik ketika menyampaikan materi adalah kesimpulan dari ceramahnya di hadapan peserta seminar. Termasuk para polisi berseragam sipil. Pak Fuad mengatakan, “Suksesi kepemimpinan wajib dilakukan di negara mana pun termasuk Indonesia. Setiap kepemimpinan pasti ada batasnya. Sehingga, siapa pun harus siap menjadi pemimpin bangsa ini.” Kesimpulan ini seolah menjadi jawaban terhadap pikiran para peserta yang hadir. Ini sebagai salah satu bukti bahwa beliau adalah benar-benar pejuang tidak takut mati.

Perlu diketahui, walaupun sebagai pembicara dadakan, materi yang beliau sampaikan sangat runut dan sama sekali tidak menyimpang dari topik yang akan dibahas kala itu. Isi ceramahnya selalu sesuai dengan topik yang diminta. Ini menunjukkan keluasan pemahaman dan wawasan beliau terutama terkait agama. Hal inilah yang menjadikan para aktivis terutama aktivis masjid kampus hormat dan bangga padanya.

Baca sambungan di halaman 2: Ilmuwan Sejati

Abdul Rahem (kedua dari kanan bersama Fuad Amsyari (petiga dari kanan) Prof Fuad Amsyari: Ilmuwan dan Pejuang Sejati yang Tak Takut Mati (Dokument pribadi/PWMU.CO)

Ilmuwan Sejati

Pak Fuad senantiasa sepenuh hati dalam mendidik murid-muridnya. Tidak pernah setengah hati dalam mendidik. Terlebih, untuk murid bimbingannya. Beliau menjadi salah satu yang banyak memberi inspirasi terkait banyak hal, terutama dari sisi keilmuan. 

Pesan yang selalu dia sampaikan, ilmuwan harus utuh. Kalau menjadi peneliti harus menguasai semua alat-alat yang diperlukan. Maka dari itu metodologi dan statistika menjadi hal yang esensial. Selain itu, seorang ilmuwan juga harus bisa menjawab dan menyederhanakan persoalan-persoalan yang kompleks. Penyederhanaan yang kompleks ini terbukti ketika Pak Fuad mengajar, selalu hanya menampilkan tigasampai lima slide dan disampaikan dalam waktu minimal dua jam (100 menit) kuliah. 

Memang Pak Fuad merupakan ilmuwan sejati. Wawasannya luas. Ilmunya banyak dan disampaikan dengan metode yang mudah diterima oleh murid-muridnya.

Pesan lain yang selalu saya dengar dari beliau termasuk pada perjumpaan terakhir adalah “Jadilah ilmuwan yang jujur, berintegritas supaya ilmunya tidak diragukan oleh orang lain. Pada prinsipnya ilmu tidak bebas nilai. Tergantung pada peneliti dan pengembang dari ilmu tersebut. Kalau yang mengembangkan adalah orang yang tidak jujur, maka hasilnya pasti tidak benar,”

Kenangan Statistik 

Ada pengalaman menarik ketika saya menempuh pendidikan S2 dibimbing oleh Pak Fuad pada saat mempersiapkan ujian tesis. Kami mahasiswa bertiga bimbingannya, ketika mau minta tanda tangan pengesahan tesis untuk bisa diujikan, kami bertiga menghadap. Untuk kedua teman saya langsung ditandatangani dan ditentukan waktu ujiannya sepekan setelah ditandatangani. Sementara, saya tidak ditandatangani. Saya masih diuji terkait statistik secara umum, artinya bukan hanya statistik yang saya gunakan untuk digunakan dalam tesis saya. 
Tentu saja, tidak semua jenis uji statistik dapat saya pahami dengan baik. Karena, saya bukan ahli statistik dan saya tidak sedang kuliah di peminatan statistik. Ternyata apa yang terjadi, naskah saya gagal ditandatangani dan saya gagal dijadwal ujian tesis ketika itu. Pak Fuad mengatakan kepada bahwa saya tidak boleh ujian sebelum menguasai statistik di luar kepala. Minimal, terkait semua analisis standar (dasar) yang biasa dipakai untuk pengujian hasil penelitian. Hal ini penting menurut beliau karena kalau jadi dosen dan peneliti harus paham berbagai analisis statistik.
Ketika itu, saya merasa mendapatkan diskriminasi. Kenapa yang lain boleh ujian, sedangkan saya tidak? Begitulah pertanyaan yang berkecamuk dalam hati saya. Hal ini karena saya harus lulus, dan sejak kecil, saya senang pelajaran matematika. Sudah barang tentu, saya berusaha untuk menguasainya sebagaimana harapan Pak Fuad tersebut. 
Kemudian saya pun mengikuti kursus ke beberapa kampus yang ketika itu menyelenggarakan pelatihan statistik seperti UI, ITB, UGM, ITS, dan IKIP Malang. Setelah beberapa bulan berselang dan saya pun berpetualang mengejar pelatihan statistik, saya kembali menghadap Pak Fuda dan tentu bersiap untuk diuji wawasan statistik saya. Alhamdulillah, setelah ditanya berbagai jenis analisis, saya diperkenankan ujian tesis. 
Walaupun sempat molor beberapa bulan, akhirnya saya lulus dari pendidikan S2. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa Pak Fuad menguasai berbagai jenis alat analisis statistik.  
Setelah lulus S2 baru saya rasakan hikmah dan manfaatnya, meskipun Pak Fuad memutuskan menunda kelulusan saya selama tidak kurang dari tiga bulan. Saya bisa tahu dan pernah menginjakkan kaki hampir di seluruh provinsi di Indonesia Timur dan tengah karena bekal statistik. Betapa tidak, saya diundang mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta baik D3, S1, maupun S2 untuk mengajar metodologi dan statistik. Bahkan, juga pernah menjadi narasumber pada workshop statistik di salah satu perguruan tinggi negeri. 

Pak Fuad memang luar biasa membaca talenta murid muridnya. Beliau bisa memandang jauh ke depan terkait kebutuhan ilmuwan di masa yang akan datang.

Baca sambungan di halaman 3: Pembimbing Hebat

Prof Fuad Amsyari: Ilmuwan dan Pejuang Sejati yang Tak Takut Mati

Pembimbing Hebat

Pengalaman yang tidak kalah dahsyatnya, ketika menempuh pendidikan S3. Pak Fuda juga sebagai salah satu tim promotor saya. Beliau juga yang banyak mewarnai disertasi saya, karena merupakan kelanjutan dari penelitian S2 saya yang juga dibimbing olehnya sebagaimana dijelaskan di atas. 

Ketika saya menyampaikan bahwa salah satu variabel independen dari penelitian saya adalah kecerdasan emosional (ilmu sosial) yang akan saya ukur melalui kuesioner, beliau langsung menolaknya. 

Ada beberapa alasan yang dia sampaikan, pertama, karena saya seorang mahasiswa doktoral di bidang eksakta dan semua tim promotor adalah juga eksakta. Tentu akan kesulitan memverifikasi dan memvalidasi kebenarannya. Menurutnya, parameter itu kurang eksak sehingga akan banyak dipertanyakan oleh orang lain hasilnya. 

Kedua, saya belum mempunyai wawasan sama sekali terkait penyusunan alat ukur dalam bentuk kuesioner. Dia juga tidak setuju kalau kuesioner tidak ada yang pakar yang menjamin validitasnya.

Setelah beberapa pekan kemudian, saya dipanggil oleh Pak Fuda untuk berdiskusi kembali tentang rencana disertasi saya. Beliau pun akhirnya menyetujui. Saya diperkenankan menggunakan instrumen kuesioner tapi dengan syarat. Pertama, harus ada pakar yang bisa membantu membuatkan instrumen dan menjamin validitas dan reliabilitasnya. Kedua, harus ada parameter objektifnya yaitu biomarker yang bisa diukur melalui laboratorium. Saya bergumam dalam hati, “Wah, ternyata tidak mudah juga syaratnya, buat pusing kepala rasanya”.

Pak Fuad menyarankan agar saya juga harus mengukur kadar serotonin sebagai biomarker kecerdasan emosional. Sementara untuk kuesioner kecerdasan beliau minta saya untuk mencari pakar di bidang instrumen pada beberapa perguruan tinggi. Saya setuju terhadap saran beliau walau sangat berat karena pengukuran serotonin membutuhkan biaya yang tidak murah. Sementara, mencari pakar instrumen bagi saya juga bukan pekerjaan gampang. 

Saya pun kembali berjuang dan hanya berpikir, barangkali saya bisa mendapatkan manfaat yang besar seperti yang saya alami ketika S2, yakni tentang berbagai pengujian statistik. Singkat cerita, saya mendatangi UGM, Unpad, dan UI. Di sana saya, tidak menemukan pakar yang dimaksud. Namun, dari UI saya mendapatkan informasi sekaligus rekomendasi bahwa pakar pengembangan instrumen nasional ada di Jawa Timur, yaitu di IKIP Malang ketika itu. Beliau ahli di bidang tersebut, yaitu Prof Dr Marthen Pali MPsi, salah seorang dosen di IKIP Malang (sekarang UM). Akhirnya, saya menghadap beliau difasilitasi teman seangkatan S3 saya yang juga dosen di perguruan yang sama dengan beliau. 

Ketika menghadap Pak Marthen, begitu biasa saya memanggilnya, saya menyampaikan maksud bahwa saya hendak mendapatkan kuesioner yang siap pakai atau kalau belum ada yang cocok ingin ‘ndandakke’ atau minta dibuatkan. Ternyata Pak Marthen menyatakan bahwa, kuesioner tidak bisa dibuatkan oleh orang lain, karena  pasti tidak akan sesuai dengan yang diinginkan oleh peneliti. Satu-satunya yang bisa membuat adalah diri sendiri, pungkas Pak Marthen. 

Saya kemudian menyampaikan tentang latar belakang saya, bahwa saya tidak memiliki latar belakan pendidikan sosial dan belum pernah mengenal instrumen kuesioner. Dia menjawab, “Anda ini S3! Mahasiswa saya semua yang S1 saja buat sendiri, apalagi S3 tentu tidak boleh dibuatkan oleh orang lain,” katanya. Beliau menyarankan agar saya menyusun sendiri kuesioner penelitian saya dan Pak Marthen siap membimbing saya dalam proses pembuatannya.

Mata Kuliah Penunjang Disertasi

Setelah itu saya melapor ke Pak Fuad terkait hasil konsultasi saya dengan pakar pengembangan instrumen. Pak Fuad langsung setuju usul Pak Marthen dan minta saya supaya ikut kuliah Pak Marthen sebagai mata kuliah penunjang disertasi (MKPD). Alhamdulillah, akhirnya saya kuliah MKPD yang semula direncanakan selama satu semester (6 bulan) dengan Pak Marthen ternyata harus saya jalani selama kurang lebih delapan bulan. Saya kuliah sepekan sekali, datang ke IKIP Malang. 

Selesai dengan Pak Marthen, saya melaporkan hasilnya ke Pak Fuad. Beliau setuju dan senang melihat hasilnya. Beliau lebih senang lagi karena saya sudah bisa membuat instrumen sendiri. Alhamdulillah, berbekal ini semua, penelitian yang menggunakan instrumen kuesioner sampai sekarang saya rancang sendiri. Demikian juga saya tularkan kepada para mahasiswa bimbingan saya dari D3 sampai S3.

Proses panjang dalam penyusunan naskah disertasi telah saya jalani. Data kuesioner maupun pengujian laboratorium pun saya selesaikan. Pak Fuad secara konsisten membimbingnya dengan sepenuh hati. Hampir setiap hari saya konsultasi naskah dan secara telaten beliau memberi arahan tentang bagaimana membuat laporan penelitian yang benar dan berkualitas. Beliau selalu menyampaikan bahwa sekolah S3 tidak harus berakhir dengan gelar doktor kalau tidak memenuhi syarat. Beliau selalu menyampaikan seperti itu. 

Menurut Pak Fuad, masing-masing gelar ada standar lulusannya, baik S1, S2, dan S3. Itu yang disebut “standard  performance”, sehingga kalau tidak memenuhi standar walaupun sekolah S3 dengan waktu yang lama, tidak harus bergelar doktor. Pesan itulah yang selalu terngiang-ngiang di telinga saya.

Melalui konsultasi yang panjang, membuahkan hasil yang cukup buat saya. Hal ini, karena pada ujian doktor tertutup maupun ujian terbuka tidak ada satu pun penguji yang memberikan revisi. Ada pernyataan dari salah seorang penguji, bahwa naskah sudah bagus dan tidak ada yang perlu direvisi, yang ingin diketahui, dan didalami atas penguasaan materi kandidat doktor terhadap hasil penelitiannya.

Itulah sekelumit pengalaman sebagai murid dan bimbingan Pak Fuda selama menempuh pendidikan S2 dan S3 di Universitas Airlangga. Selain yang telah saya sampaikan terkait materi dan cara membimbing, terasa sekali nuansa religiusnya di setiap bimbingan dan pembelajaran yang diberikan oleh beliau.
Selamat jalan, Profesor! Surga insya Allah tempat terbaik Bapak! (*)

Editor Mohammad Nurfatoni
Exit mobile version