Hinalah Aku, Jangan Islam, Please
Oleh: Emha Ainun Nadjib
PWMU.CO – Kepada semakin banyak saudara-saudaraku yang menghina Islam, kumohon: hinalah aku. Sebab aku lemah, tidak punya daya, maka hinaanmu akan efektif. Seandainya pun aku tersinggung dan ingin membalas, tak ada padaku kesanggupan untuk melaksanakannya. Selama hidup, tak kupunyai energi, kekuatan dan rasa tega, untuk menyakiti siapapun, meski seberat apapun ia menyakitiku, sedalam apapun ia melukaiku, bahkan membunuhku.
Tetapi tolong engkau ingat: aku ini sudah hina tanpa engkau hina. Jadi sebenarnya tidak bisa ditambah lagi hinanya hidupku oleh penghinaanmu. Mending kau traktir aku makan Ketoprak Betawi, Garang Asem Kudus atau Sate Lalak Bangkalan. Kalau itu, manfaatnya sangat jelas dunia akhirat, bagimu maupun bagiku.
Aku pernah menerima di markasku serombongan tamu teman-teman Pendeta dan kawan Tionghoa aktivis gereja pada pukul 02.00 dinihari. Nanti pagi akan ada acara pengobatan bagi jemaat oleh seorang Pendeta dari Kanada di sebuah stadion olahraga Yogya. Acara itu diancam dibubarkan oleh suatu kelompok teman lain yang identitasnya Muslim yang cara berpikirnya belum bisa aku pahami.
(Baca juga: Permohonan Cak Nun agar Nabi Khidlir Hadir Kembali dan Memutar Arah Istana)
Dinihari ini juga aku hubungi pihak Kraton Yogya sebagai pengayom seluruh masyarakat DIY, kemudian kukontak pimpinan kelompok yang akan menyerbu Stadion. Nanti pagi hingga siang acara pengobatan berlangsung lancar. Dengan ongkos aku disebut “Pembela Kristen”, munafik, musyrik. Ada beberapa orang menyebutku pejuang anti destruksi, penengah siapapun yang bermusuhan, perawat silaturahmi dan toleransi, serta sejumlah rumusan lagi – tapi mereka tidak berani mengungkapkannya kepada publik.
Di saat lain aku kumpulkan lebih 40 ribu massa di halaman Pasar sebuah kota di utara Yogya, kubikinkan Deklarasi Kerjasama Kemanusiaan, dibacakan bersama oleh pemuka berbagai golongan yang sebelumnya saling dendam dan bermusuhan. Lebih 30 Laskar akan membakar toko-toko dan pusat-pusat perniagaan.
Tapi mereka berakal sehat, sehingga mengemukakan kepadaku rencana itu. Kami berdialog sedemikian rupa. Keputusannya, aku minta mereka datang lagi menemuiku bersama pemuka kelompok-kelompok yang akan mereka serbu. Kalau mereka mau bunuh-membunuh dan saling memusnahkan, aku persilahkan dimulai di depanku. Tapi kalau mereka mau bebrayan yang baik sesama manusia, kuajak bikin desain ke hari depan untuk menyusun perjanjian kerjasama saling mengamankan dan menyelamatkan.
(Baca juga: Cak Nun soal Budaya Politik Nasional: Pilih Celana atau Makanan; Korupsi atau Rasa Malu?)
Perdamaian berlangsung. Sampai hari ini. Kalau situasi bergolak suatu waktu, karena hidup ini bergelombang, aku harus menentukan akan menganggukkan kepala, atau menggeleng, atau tidak menjawab. Kalau aku mengangguk, bisa jadi “karang abang”. Kalau aku menggeleng, harus dengan hujjah atau argumentasi yang bijaksana dan rasional. Kalau aku tak menjawab, berarti tidak juga menggeleng, berarti bisa “karang abang” juga.
Aku banyak dicampakkan ke dalam situasi konflik seperti itu yang tak mungkin kuceritakan satu per satu. Di Tulang Bawang, Mempawah, Rassau Jaya, Sidoarjo, Magetan, Tinambung dan Majene bersama Mara`dia Raja, pecinan Kelapa Gading dan lain-lain, dengan tema pertengkaran yang berbeda-beda. Perang Sampit Dayak-Madura membuatku harus menyisir 4 Kabupaten untuk mengupayakan api tidak melebar. Di sebuah lapangan di Sanggau aku mengumpulkan masyarakat Dayak dan Madura sekaligus.
Sebelumnya aku temui pemuka-pemuka mereka. Kepada Sesepuh pribumi Kalimantan dengan gemetar aku mendekat, merangkulnya dan berbisik: “Aku bertamu ke sini dengan hati persaudaraan, untuk mengetahui apakah bagi saudara-saudaraku di sini aku ini saudara atau musuh. Kalau aku saudara, aku mensyukuri sampai lubuk hati. Kalau aku musuh, aku perlu bersiap-siap, meskipun aku tidak pernah mengejar kemenangan…”
(Baca juga: Cak Nun tentang Lomba Ajal di Gerbang Perubahan, Ada Peristiwa Besar pada 26 Agustus 2017?)
Sesepuh yang wajahnya bersih jernih itu membalas bisikanku: “Cak Nun saudara kami semua di sini yang sangat kami cintai…”. Maka acara sore harinya di lapangan berlangsung penuh kemesraan. Berikutnya, dari hari ke hari, malam demi malam, setiap individu manusia maupun lingkaran kebersamaan mereka, tidak boleh berhenti untuk rajin merawat kejernihan pikiran, kebersihan hati, kematangan jiwa dan kebijaksanaan sosial.
Sangat tidak mudah berdiri di tengah untuk menjaga organisme maupun organisasi penyelamatan dan pengamanan. Khatulistiwa dituduh kutub utara oleh kutub selatan, juga sebaliknya. Berdiri di tengah dimusuhi oleh timur karena dianggap barat, juga sebaliknya. Di tahun 2002 diagnosis radiologi RS utama Yogya menyatakan usiaku secara teori medis tinggal 3,5 bulan paling lama.
Dari tenggorokan hingga perut hitam legam karena berisi logam-logam keras yang bisa diurai hanya oleh suhu 1.500 derajat Celsius. Ada unsur yang meledak tak perlu oleh api, cukup hangat saja. Seorang Doktor-dokter tidak percaya itu darahku, sehingga cek darah ulang tiga kali, karena seharusnya kalau itu darahku: maka aku lumpuh dan tidak sadar, bukan nyetir mobil sendiri untuk berobat.
(Baca juga: Ini Kata Cak Nun: Indonesia Makam Pancasila)
Ketika situasi panas di Netherland oleh demam film “Fitna”, sampai Geert Wilders menyerukan pelarangan atas Islam — bersama KiaiKanjeng selama 9 hari berturut-turut siang malam kami pentas di 19 gereja, masjid dan synagog. Kemudian berkumpul bersama semua pemeluk Agama-agama dan ragam bangsa-bangsa di Juliana Kerk Den Haag untuk deklarasi kerjasama antar mereka.
Aku dan Kiai Kanjeng dikutuk oleh teman-teman Muslim karena memasukkan notasi solmisasi yang biasa terdengar di gereja dan synagog ke nomor medley global. Shalawat Global kami disebut Shalawat Gombal. Ternyata lagu, musik, nada, irama dan bunyi, memeluk Agama juga. Maka meskipun lirik yang kami lantunkan “Baina Katifaih” atau “Hubbu Ahmadin”, bagi teman-teman tetap saja itu Lagu Gereja. Aku belajar ternyata ada Lagu Masjid, ada Lagu Kuil.
Batu bata yang dipakai membangun Masjid adalah batu Muslim. Batu Masjid bermusuhan dengan Batu Gereja. Lantai marmer, cat, kaca, AC, karpet dan semua perangkat itu, kalau dipakai di Masjid, berarti beragama Islam. Kalau dipakai di Synagog berarti AC Yahudi, Karpet Yahudi, Marmer Yahudi dan Kayu Jendela Yahudi.
Allah menyatakan “bertasbih kepada-Ku segala apa yang di langit dan bumi”. KiaiKanjeng tidak berani untuk tidak mengajak kayu dan logam gamelan, partikel-partikel udara, suhu hangat dan dingin, nada dan irama, solmisasi atau jiropatmo, susunan bunyi Qiro’ah Sab’ah, kain baju, tiang-tiang panggung, sound-system, semuanya, untuk “sabbaha lillah”, bertasbih menyatakan cinta dan kepatuhan kepada-Nya.
(Baca juga: Keterjebakan Politik Identitas dan Harapan Cak Nun pada Muhammadiyah)
Bahkan sudah puluhan orang yang publik menyebutnya gila kunaikkan panggung, kupeluk, kubisiki dan secara bertahap menemukan dirinya kembali. Bahkan di panggung Kabupaten Bekasi wanita 27 tahun yang jam tiga sore tadi telanjang bagian atas badannya, kami temani dan bungkus pelan-pelan, di penghujung acara malamnya pukul 02.00 dia yang secara spontan merebut mikrofon dari tanganku dan memimpin “Yallah bihaaaa…yallah bihaaa…bihusnil khatimah”. Sebelumnya dia bernyanyi spontan “Alif difatha a alif didhomma u” dan KiaiKanjeng spontan mengiringinya menjadi pertunjukan musik seolah-olah mereka sudah sebulan berlatih bersama.
Sejumlah sahabat Muslim menyimpulkan aku sudah murtad karena mau menerima teman Kristen, Katolik, Budha, Budha, Hindu, Gatoloco, Darmogandhul dll sebagai bagian dari silaturahmiku. Tidak ringan menerapkan “lakum dinukum waliyadin” dalam formasi, koordinat dan pemetaan budaya kemanusiaan. Sahabat-sahabatku sangat mencintaiku, sehingga selalu mengkhawatirkanku. Mereka takut kalau aku masuk kandang kambing lantas aku menjadi kambing. Mereka cemas aku gampang masuk angin seperti mereka.
Kalau aku bernyanyi doremifasol aku menjadi Nasrani. Hanya saja sahabat-sahabat kurang teliti sehingga tidak tahu bahwa lagu “Khotmil Qur’an” atau “Shalawat Nariyah” 100% bersusunan nada doremifasol alias solmisasi Barat yang juga dipakai di Gereja. Bahkan shalawat popular berabad-abad di Pesantren dan Ummat Islam “Thalama asyqu gharami” lagunya persis “Uskudara” tradisi Yahudi. Orang Islam mengaku itu lagu Islam. Orang Israel mengaku itu lagu Yahudi. Orang Turki mengaku itu aslinya lagu Turki.
Tak apa. Tanah dan bumi ini milik kita semua. Atau tepatnya, milik Allah yang di-HGB-kan kepada para Khalifah-Nya. Pastur beli kain lurik di Pasar Beringhardjo dipakai memimpin Misa, tidak membuatnya menjadi pindah ke Kejawen. Umpama aku pinjam baju Pendeta kupakai jumatan, fiqih Islam tidak menyimpulkan aku berubah Kristen. Allah menganugerahkan mangga, para pemeluk keyakinan yang berbeda-beda gantian memakai pisau untuk menguliti dan menikmatinya. Pisau dan musik, hanyalah alat.
(Baca juga: Blak-blakan Cak Nun soal Kondisi Indonesia: Tinggal Ditolong Tuhan apa Tidak…)
Aku menyayangi semua makhluk Allah, sehingga aku memafhumi pilihan pakaian mereka masing-masing. Pilihan cara berpikir, pilihan keyakinan, pilihan Presiden dan Lurah, serta apapun. Hal-hal yang berkait langsung dengan aqidah ketuhanan, bukan hakku untuk mencampuri, itu adalah transaksi perniagaan langsung mereka dengan Tuhan. Maka bahkan tidaklah akan pernah bisa mengurangi cintaku kepada semua makhluk Allah ketika aku disodori hal-hal serperti berikut ini dari medsos yang tersebar ke seluruh dunia:
“Allah itu apa sih? Batukah atau binatang? Islam Agama tai. Kok guwa gak pernah lihat Allah ya. Nabi cap itil”. “Waah anjingnya keren ya! Pakai sorban. Gak lama lagi anjingnya pakai hijab!”. “Apa elu gak salah milih Tuhan kok gak ada wujudnya? Apa elu gila kentut aja lu anggap Tuhan”. “Hey islam kontol….jangan main2 ama gue ya…”. “Kabah kandang babi! Allah swt anjingggggggggg!!”. “Alangkah lucunya Islam. Lu nyembah apaan nungging2 kagak jelas kayak orang lagi ngentot doggy, kagak berguna goblog!”
Dengan segala kebodohan kumohon ucapan-ucapan itu ditujukan atau dialihkan kepadaku. “Inni kuntu minadhdholimin”. Aku tergolong orang dholim. Tepat untuk menjadi sasaran kata-kata seperti itu. Please jangan kepada Islam. Tak perlu kujelaskan, toh kau tak percaya. Walhasil, jangan hina Islam. Syukur juga tak kau musuhi Ummat Islam, terutama yang di bawah-bawah. Sudahlah. Hina aku saja. Santetlah tenunglah aku. Bahkan bunuh aku. Cuma kalau aku mati, engkau kehilangan sasaran untuk kau hina.
*) Emha Ainun Nadjib, budayawan