Tiga Tingkatan Hadiah
Sebagian ahli hukum Islam membagi tiga tingkatan dalam masalah hadiah. Pertama, hadiah yang berasal dari orang dengan posisi sosial-ekonomi yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Ini, bentuk kedermawanan dan kebaikan yang tak mengharapkan balasan. Kedua, hadiah yang berasal dan tertuju kepada orang yang setaraf. Ketiga, hadiah berasal dari yang posisi sosial-ekonominya lebih rendah ke orang yang tinggi. Hadiah semacam ini menuntut adanya balasan. Si pemberi bermaksud mendapatkan balasan atas hadiah tersebut (h 44-45).
Di bab ketiga, lebih detail lagi penguraiannya, yaitu membahas Hadiah yang Diberikan karena Faktor Jabatan. Dikupas soal 1. Hadiah kepada hakim; 2. Hadiah kepada penguasa; 3. Hadiah kepada Wali atau Amir; 4. Hadiah kepada Mufti; 5. Hadiah kepada pengajar; 6. Hadiah kepada pegawai umum.
Pada butir 3 di atas, ada kisah yang patut kita jadikan teladan. Umar bin Abdul Azis—dalam sejarah Islam, disebut-sebut sebagai khalifah terbesar kelima setelah KhulafaurRasyidin—diketahui menolak hadiah yang ditujukan kepadanya.
Lalu, salah seorang sahabatnya bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau tidak menerima hadiah, padahal dulu Rasulullah Muhammad SAW menerima?”
Umar bin Abdul-Azis menjawab: “Sesungguhnya pemberian yang ada pada masa Rasulullah Muhammad SAW adalah hadiah, tetapi pemberian itu kini telah menjadi suap”. Dengan jawaban itu, Umar bin Abdul-Azis mengisyaratkan bahwa situasi dan kondisi telah sedemikian berubah. Kini, orang yang memberi hadiah menuntut hal-hal yang tidak halal dari orang diberi hadiah (h. 111).
Umar bin Abdul-Azis telah memilih jalan taqwa. Sikap taqwa mensyaratkan kehati-hatian, agar kita sekali-sekali tak melanggar syariat Allah. Hanya dengan sikap seperti itulah, kita, insyaallah, bisa selamat.
Penulis menutup buku penting ini dengan beberapa kesimpulan, antara lain, adalah: Pertama, hadiah yang diberikan seorang Muslim ke saudaranya memang disyariatkan Islam. Itu, dapat menumbuhkan rasa cinta dan menguatkan kasih sayang. Kedua, memberi hadiah hendaknya lebih diutamakan kepada keluarga, karib kerabat, dan tetangga. Ketiga, hadiah untuk mendapatkan manfaat dengan melalui kedudukan dan menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan apa-apa yang bukan haknya, itu pada hakikatnya adalah suap.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda: “Allah melaknat orang yang menerima suap, orang yang menyuap, dan orang yang menjadi perantara keduanya” (HR Ahmad, Thabrani, Baihaqi, dan Hakim). “Penerima suap dan pemberi suap masuk neraka” (HR Bazzar dan Thabrani).
Alhasil, hendaklah kita takut atas keadaan yang sangat jelek terkait masalah suap (dengan berbagai modusnya)! Semoga Allah kuatkan kita untuk tak terjerumus pada semua praktik yang terlarang. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni