Pilih Pemimpin dengan Akal Sehat, Bukan dengan Akal Bulus dan Akal Fulus; Oleh Agus Salim Syukran, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ishlah Sendangagung, Paciran, Lamongan.
PWMU.CO – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan digelar 14 Februari 2024. Sebanyak 204.807.222 warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih diperkirakan akan berbondong-bondong menuju tempat pemungutansuara (TPS) untuk menggunakan hak pilih mereka.
Agenda lima tahunan ini akan memilih secara serentak: Presiden dan Wakil Presiden, juga wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif pada semua tingkatan, baik DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupatun/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Bagi warga negara Indonesia, berpartisipasi dalam pemilu merupakan kebutuhan yang tidak bisa diabaikan karena menyangkut kepentingan lima tahun ke depan. Lewat pemilu, mereka akan menyalurkan aspirasi melalui wakil atau pemimpin yang dipilih. Dan proses itu merupakan bagian dari mekanisme demokrasi dalam kehidupan bernegara.
Demokrasi mungkin bukan sistem ideal menurut sebagian orang, namun sistem ini telah menjadi pilihan terbaik bangsa Indonesia. Dua ormas keagamaan terbesar di negeri ini, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), telah sepakat dan menjadi penyangga utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Muhammadiyah memandang NKRI sebagai hasil komitmen kebangsaan dan fakta sejarah yang tidak bisa diingkari keberadaannya sehingga menyebutnya Daru al-‘Ahdi wa asy-Syahadah (negara perjanjian dan kenyataan). Sementara NU dikenal sebagai ormas yang gigih memosisikan diri sebagai penjaga NKRI. Jargon mereka cukup terkenal, “NKRI harga mati!”
Dalam sistem demokrasi, pilar utamanya adalah partisipasi masyarakat. Karena itu, keikutsertaan warga dalam pemilu merupakan keniscayaan dan menjadi sesuatu yang krusial. Meskipun begitu, pemilu rawan mengalami distorsi apabila praktik-praktik yang tidak sehat masih saja terjadi. Dan itulah yang banyak dihawatirkan dan mungkin sudah terjadi pada pemilu kali ini.
Sejumlah indikasi telah mengkonfirmasi kehawatiran itu, antara lain adanya upaya manipulasi hukum untuk mengegolkan calon tertentu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Juga keterlibatan aparat negara dalam pemenangan calon tertentu, dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu. Selain itu, maraknya politik uang juga akan mengganggu kualitas pemilu dan menjadikan hasilnya berwajah buram.
Karena itu, membangun kesadaran warga agar cerdas dan bijak memilih menjadi tugas penting orang-orang yang ingin menjaga kewarasan nalar bangsa dan kehidupan demokrasi yang sehat. Bagaimana masyarakat mengedepankan akal sehat daripada akal bulus dan akal fulus menjadi agenda pendidikan politik yang tidak bisa diabaikan.
Baca sambungan di halaman 2: Amar Makruf Nahi Mungkar